Lihat ke Halaman Asli

Menangkal Fenomena "Asing" Secara Sah dalam Konteks WTO

Diperbarui: 23 Mei 2017   11:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Guna memudahkan pembaca dengan mengingat banyaknya hal-hal yang menjadi dasar pemikiran yang mendukung judul dari tulisan ini yang terkait satu sama lainnya , kiranya penulis perlu untuk meringkas menjadi beberapa segment yang pada intinya adalah bagaimana mendukung model ekonomi kerakyatan yang telah digaungkan para ahli dan praktisi terutama Bung Hatta yang dapat mewujudkan sistem ketahanan ekonomi nasional guna mengantisipasi ketergantungan terhadap asing demi menciptakan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia di Indonesia. Tulisan ini juga mengajak dan mengingatkan kembali sehingga kita lebih jauh dapat memikirkan bagaimana melalui kewajiban kesadaran “bela negara” dapat mempertahankan Indonesia dari segala ancaman khususnya ancaman terhadap ekonomi nasional dan kaitannya dengan hukum nasional dimana jika tidak dipertahankan dapat berujung pada disintegrasi bangsa. Disamping itu juga tulisan ini memberikan pandangan secara umum terkait realisasi/implementasi seharusnya dari intisari pemikiran ahli dan praktisi sebagai salah satu sistem ketahanan ekonomi nasional yang ditawarkan. Semoga “latihan penulisan” dalam rentan waktu yang singkat dari penulis ini dapat bermanfaat.

1.Fenomena Asing , World Trade Organization, Pengaruhnya serta efek World Trade Organization bagi Indonesia

Dewasa ini fenomena “asing” di Indonesia mulai menghangat terlebih ketika tenaga kerja asing asal Tiongkok dikabarkan mulai masuk ke Indonesia melalui perusahaan nasional yang baik dimiliki asing ataupun memiliki unsur asing, namun perlu diketahui juga tidak hanya tenaga kerja asal Tiongkok, tenaga kerja dari berbagai negara bahkan termasuk negara maju seperti Amerika Serikat juga telah masuk di Indonesia, para tenaga kerja asing ini dikabarkan bekerja sebagai tenaga kasar, level staff sampai dengan CEO. Gambaran akan hal ini dapat juga dilihat secara kasat mata dari fenomena peningkatan jumlah baik expatriat di Indonesia yang masuk secara sah maupun tenaga kerja illegal di lokasi lokasi bisnis atau perkantoran dan tempat hiburan seperti di Jakarta, Bandung dan Medan. Dulu ketika penulis masih mengikuti program TV Dunia Dalam Berita pkl 9.00 WIB (TVRI) khususnya yang mengabarkan meledaknya gudang peluru di Jakarta , pengamatan penulis masih sulit melihat orang asing yang identik dengan bule berkeliaran di kawasan bisnis dan perkantoran menggunakan pakaian formil di Jakarta, Bandung dan Medan, jikapun ada biasanya tidak berpakaian formil dan lebih terlihat sebagai wisatawan. Disisi lain pada masa itu orang asing dituntut untuk bisa berbahasa Indonesia hal tersebut disebabkan karena banyak orang Indonesia tidak terlalu peduli dengan bahasa Inggris dan juga banyak orang Indonesia tidak bisa berbahasa Inggris termasuk penulis sendiri. Namun keadaan yang demikian jauh berbeda dengan keadaan sekarang dimana bahasa Inggris menjadi kewajiban nonformil bagi setiap orang untuk bisa menggunakannya apabila tidak ingin tertinggal baik dalam bisnis maupun dalam persaingan tenaga kerja juga dalam pendidikan, terutama bagi mereka yang bekerja pada perusahaan asing atau perusahaan nasional dengan unsur asing. Disamping itu berdasarkan data dari harian Rakyat Merdeka (23/01/2017) yang diolah dari KEMENAKERTRANS jumlah Tenaga Kerja Asing di Indonesia sejak 2014 sampai dengan 2016 mengalami peningkatan dimana pada tahun 2014 TKA berjumlah 68.762 orang sedangkan pada tahun 2016 berjumlah 74.183 orang meningkat +7,9% . demikian juga apa yang disampaikan kepala pengembangan investor BEI Irmawati Amran dikutip dari detik.com tahun 2016 saham yang dibuka ke publik yang dikuasai asing sebesar + 60 % . Hal tersebut setidaknya menjadi salah satu indikator bahwa asing memang sudah masuk ke Indonesia, belum lagi fakta bahwa beberapa dari lembaga keuangan baik bank maupun non perbankkan berstatus asing yang tentunya jika sektor finansial dikuasai asing dan roda perekonomian bersandar pada sektor finansial maka dimungkinkan ekonomi nasional juga tergantung pada asing disamping itu serapan tenaga kerja lokal di perusahaan asing di Indonesia juga cukup memberikan harapan bagi kesejahteraan para pekerja dengan kata lain sangat tergantung.

Fenomena ini sebenarnya dirasakan semakin meningkat dimulai sejak bergabungnya Indonesia dalam globalisasi melalui World Trade Organization (WTO) sejak tahun 1994 melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement on Establishing World Trade Organization, dimana setiap negara anggota diharapkan membuka diri (langsung atau bertahap) kepada seluruh anggota WTO tanpa pandang bulu dalam setiap aktifitas perdagangan / bisnis dunia dan mengeliminasi kebijakan proteksi bagi negara lain (asing), yang mana dalam rezim perdagangan international WTO dikenal dengan prinsip non diskriminasi . bahasa sederhananya adalah ketika Indonesia membuka hubungan dagang/bisnis dengan Amerika Serikat (ekspor/impor/investasi) sebagai salah satu anggota WTO, maka terhadap negara lain (anggota WTO lainnya) Indonesia juga wajib membuka diri dan tidak boleh menerapkan kebijakan proteksi atau berpihak terhadap satu negara saja, misalnya Indonesia juga memberikan perlakuan yang sama dengan Amerika Serikat terhadap Tiongkok selaku anggota WTO, di WTO prinsip ini dikenal dengan Most Favoured Nation (MFN) Treatment-Non Discrimination principles. Disamping itu kebijakan proteksi juga tidak boleh diterapkan pada asing yang berdagang/berbisnis di Indonesia, mulai dari aktifitas perdagangan barang dan jasa sampai investasi, misalnya adanya kebijakan yang mebeda-bedakan perlakuan terhadap produk asing dengan produk lokal yang dikategorikan sebagai kebijakan proteksi, sebagai contoh produk Indonesia dikenakan ppn 5% sedangkan produk asing yang sudah masuk di Indonesia dikenakan 10% untuk barang / jasa yang sejenis. Dalam rezim WTO juga dikenal sanksi atas pelanggaran terhadap prinsip non diskriminasi, bisa ganti rugi sampai dengan tindakan retaliasi (pembalasan). oleh karenanya dapat juga dikatakan bahwa fenomena asing yang terjadi dewasa ini dapat masuk melalui tiga kategori yaitu kategori produk barang yang diatur dalam General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) , produk jasa (termasuk tenaga kerja) yang diatur dalam General Agreement on Trade of Services (GATS) dan investasi yang diatur dalam Trade Related of Investment Measures (TRIMS). Khusus untuk bidang investasi dirasa memegang kontrol yang sangat penting terkait pengaruhnya terhadap ketahanan ekonomi nasional, penguasaan asing di Indonesia dapat juga sebagai kontributor melemahnya ketahanan ekonomi nasional yang berakibat berkurangnya kesejahteraan nasional. Dominasi investasi asing di Indonesia khususnya untuk sektor yang diatur dalam pasal 33 UUD 1945 karena adanya aturan dalam WTO rules annex 1 A yaitu Trade Related Investment Measures (TRIMS) yang mengatur perihal perdagangan yang terkait perusahaan (investasi) asing dengan mengedepankan perlakuan non diskriminasi. Indonesiapun menyesuaikan kebijakan nasionalnya berdasarkan WTO rules seperti yang dapat kita lihat dari aturan penanaman modal di Indonesia dan peraturan dibawahnya yang membuka peluang bagi asing untuk masuk di Indonesia termasuk berinvestasi pada bidang yang diatur dalam pasal 33 UUD 1945 meskipun dengan pembatasan, namun demikian aturan tersebut terlihat tetap masih memberikan kebebasan dalam praktiknya. Berdasarkan Peraturan Presiden No 44 Tahun 2016 yang mengacu dan merupakan turunan pelaksana dari Undang-Undang Penanaman Modal No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal menyebutkan hanya 20 bidang usaha yang tertutup bagi asing, namun belum meliputi bidang usaha yang seharusnya tertutup sebagaimana pasal 33 UUD 1945.

Dari ketentuan diatas tampak bahwa terhadap asing dibuka kesempatan berinvestasi di Indonesia dan hal tersebut diatas itulah yang menjadi penyebab fenomena “asing” di Indonesia termasuk tenaga kerja asing, dimana biasanya perusahaan asing (PMA) atau perusahaan nasional yang masih terdapat unsur asing baik langsung atau tidak langsung (naturalisasi) akan membawa tenaga kerjanya sendiri untuk masuk ke Indonesia , plus jika ada CEO Asing, maka tenaga kerja asing pun diserap dengan kemungkinan bermacam cara dalam praktik lapangannya meskipun dalam GATS tidak selamanya bagi negara berkembang tenaga kerja asing boleh masuk ke Indonesia kecuali yang sudah dibuka/disepakati dalam negosiasi GATS.

Gambaran sederhananya adalah pintu gerbang fenomena asing pada tahun 1990-an di Indonesia adalah Ratifikasi WTO Establishment melalui Undang-Undang No 7 Tahun 1994, dari gerbang utama tersebut penetrasi masuk melalui beberapa pintu utama nasional yaitu Undang-Undang Penanaman Modal (investasi asing) , Undang-Undang Perseroan Terbatas (40/2007)-memungkinkan kapitalisasi , Undang-Undang Tenaga Kerja (13/2003) terkait kemungkinan penggunaan tenaga kerja asing, meskipun pintu untuk perdagangan barang/jasa diberi sekat oleh Undang-Undang Perdagangan (UU 7/2014) dimana pada dasarnya undang-undang ini memberikan resistensi namun masih belum dapat menghambat laju fenomena asing.

Lalu mengapa Indonesia harus bergabung dalam WTO jika tidak ingin ada unsur asing atau ingin memperkuat tatanan ekonomi nasional ? secara ideal Indonesia sendiri mau tidak mau suka tidak suka harus ikut globalisasi dan WTO dalam hal ingin berkembang dan lebih sejahtera, karena Indonesia dengan segala keterbatasannya membutuhkan negara lain dan negara lain juga demikian mempunyai hasrat besar dengan Indonesia sehingga terjadi hubungan timbal balik. Indonesia tidak bisa memilih satu negara atau memproteksi diri karena adanya politik internasional dimana setiap negara pada dasarnya membentuk blok-blok tertentu baik dalam perdagangan maupun politik, bahasa sederhananya adalah “nge-gank”. Jika Indonesia melanggar prinsip non diskriminasi terhadap suatau negara, maka negara tersebut akan menuntut baik ganti rugi maupun sanksi via Dispute Setlement Body WTO, jika Indonesia tidak mengindahkan maka negara yang dirugikan dapat melakukan tindakan balasan dimana hal tersebut dapat dibenarkan oleh WTO berdasarkan prinsip retaliasi dan secara politik dapat meminta gank-nya untuk menekan Indonesia guna memenuhi tuntutan negara yang dirugikan bisa dengan cara pembatalan kerjasama, pembatalan pinjaman, dan kerjasama lainnya. Contoh hal ini adalah dahulu kasus Mobil Timor meskipun belum sampai retaliasi, pemerintah telah merevisi kebijakan nasional yang bersifat proteksi. Tentunya hal tersebut dapat berdampak pada perekonomian nasional terlebih jika terkena sanksi ekonomi embargo yang secara politik dapat dicari kesalahan suatu negara. Dengan demikian alasan kekahwatiran akan hal-hal tersebut diataslah yang menyebabkan Indonesia mau tidak mau suka tidak suka harus tergabung dalam globalisasi melalui WTO. Implementasi dari konsekwensi bergabungnya Indonesia dalam WTO adalah dengan menerapkan kebijakan selalu “berbuat baik” terhadap negara lain terutama negara maju dan yang mempunyai kekuatan ekonomi tentunya. Pertimbangan Indonesia untuk patuh mungkin dengan telah memperhitungkan segala keterbatasannya dari segala sisi dan tentunya kesejahteraan bangsa. Sampai point ini tidak salah juga ketika Indonesia berhati-hati agar tidak terjadi pelanggaran bahkan memodifikasi sejumlah aturan nasional.

Namun demikian perlu diingat bahwa konsekwensi tersebut diatas tidak selamanya positif namun juga terdapat hal negative dikemudian hari , dimana sikap patuh Indonesia akibat “kekhawatiran” dan juga adanya WTO rules makin membuka peluang bagi asing untuk masuk ke Indonesia yang menyebabkan fenomena asing di Indonesia menjadi trend , frekwensi “asing” menjadi meningkat, beberapa produk barang/jasa asing masuk ke Indonesia bahkan dengan harga yang lebih murah dari produk lokal baik barang/jasa, disamping itu arus investasi asing dan “naturalisasi asing” menjadi trend dengan melihat “keseksian” Indonesia dimana hal ini menimbulkan ketergantungan akan adanya asing dan menyebabkan tatanan ekonomi nasional menjadi rapuh dengan adanya isu global yang tentunya dapat berakibat menurunnya tingkat kesejahteraan bagi warga negara Indonesia khususnya . Lalu bagaimana caranya ketika proteksi itu dilarang namun Indonesia masih harus mengejar kesejahteraan nasional dengan segala keterbatasannya dalam kerangkan WTO rules? Perlu disadari juga proteksi itu perlu untuk ketahanan ekonomi nasional dan tidak bisa dihindari , Nah justru hal ini yang menarik bagaimana mensiasati aturan WTO dalam konteks proteksi yang tidak dikategorikan melanggar WTO rules.

2.Liberalisme/Neo Liberalisme , Tatanan Ekonomi Nasional dan Sanksi Perdagangan Internasional,

WTO mendasarkan pada Sistem ekonomi liberal dan konsep liberalisme/neo liberalisme itu sendiri dibangun dari hasil pemikiran ahli ekonomi yang sangat terkenal dengan konsep liberalismenya yaitu Adam Smith yang juga belakangan teorinya dijustifikasi bahwa dengan adanya liberalisme ekonomi tidak akan terjadi penumpukan kekayaan pada seseorang ( kapitalis) karena adanya sifat pendistribusian kesejahteraan yang dikenal dengan prinsip “Trickle Down” –nya, dimana menurut pandangan penganut prinsip ini, semakin banyak seseorang (kapitalis) mengumpulkan uang, maka mereka akan terus menggandakan uangnya dengan cara investasi untuk memperoleh uang yang lebih banyak, namun demikian investasi yang dimaksud dan diharapkan dalam prinsip ini adalah investasi membentuk mesin uang baru seperti misalnya pembentukan usaha baru, perusahaan baru dimana hal ini diasosiasikan dengan adanya penyerapan tenaga kerja, dimana uang yang didapat dari para kapitalis akan turun kebawah yaitu kepada pekerja dalam bentuk gaji, sehingga roda ekonomi berputar . menurut pandangan kelompok ini semakin banyak investasi maka tingkat kesejahteraan meningkat atau dengan kata lain terkadang secara ekstrim dianggap investasi sama dengan kesejahteraan (I(investasi)=W(wealth)). Oleh karenanya mendasarkan pada pemikiran Adam Smith dalam bukunya an Inquiry into the causes of the wealth of nations (1776) pemerintah tidak boleh mencampuri mekanisme pasar (intervensi) tidak boleh membatasi perdagangan, ekonomi harus dibebaskan tanpa batas, ekonomi harus diserahkan pada mekanisme pasar (natural). Pada akhirnya prinsip ini dikemudian hari berkembang dengan implementasi bahwa intervensi pemerintah dibatasi dan seminimal mungkin, jika perlu ditiadakan. Atas dasar papaparan Adam Smith dan bukti empiris jika bersandar pada Amerika Serikat perlu diakui juga bahwa liberalisme juga dapat memberikan kontribusi positif, namun yang menjadi pertanyaan besar saat ini adalah efektifkah? Bagi siapa? apakah dapat diterima secara universal? Dalam tulisan ini tidak membahas detail mengenai efektif atau tidaknya liberalisme dalam mencapai kesejahteraan , hanya menyangkut sedikit yang terkait liberalisme, mengingat pembahasan ilmiah akan hal ini akan penulis tuangkan dalam judul tersendiri yang secara komprehensif akan membahas liberalisme/neo liberalisme dan implementasinya secara global. Kembali pada pemikiran diatas bahwa liberalisme adalah kesejahteraan, maka WTO pun mengadopsi pemikiran liberalisme, dimana dengan liberalisme dan trickle down teorinya dapat mensejahterakan. Tidak hanya WTO , IMF. Bank Dunia (dahulu IBRD) juga mengadopsi pemikiran dan konsep liberalisme hal ini dapat ditelusuri dari jejak sejarah pembentukan WTO (dahulu ITO), IBRD, IMF dalam Brettonwoods documents pada konferensi Brettonwoods, New Hampshire, Amerika Serikat pada tahun 1944.

Karena Indonesia menjadi bagian dari WTO , sedikit banyak Indonesia pun mengarah pada pemikiran ekonomi liberal, disamping dipengaruhi mungkin beberapa factor lain misalnya beberapa dari mereka yang belajar di Amerika Serikat atau negara lain yang berbasis liberalisme yang kembali ke Indonesia, juga berpotensi memberikan pengaruh pada tatanan ekonomi dan hukum nasional dalam hal apa yang menjadi objek studi nya dan bagi mereka yang tidak mengkritisi studinya dengan mengacu pada akar budaya , perilaku dan psikologis bangsa Indonesia. Sebelum masa orde baru sistem ekonomi setidaknya mendasarkan pada praktik dan sejarahnya terbagi menjadi dua periode: sistem ekonomi liberal dan sistem ekonomi sosialis, pada saat orde baru menjadi sitem demokrasi ekonomi dan setelah reformasi digadang-gadangkan sebagai sistem ekonomi kerakyatan. Apa yang menjadi pemikiran pemerintah setelah reformasi sebenarnya telah tertuang pada UUD 1945 pasal 33, namun demikian meskipun sudah dinyatakan sebagai ekonomi kerakyatan ide liberalisme masih melekat ketat pada tatanan ekonomi nasional dan perangkat hukumnya dalam konteks ekonomi kerakyatannya, sebagai contoh sederhananya adalah ketika pemerintah baik pada masa pemerintahan presiden Sukarno sampai dengan pemerintahan presiden Joko Widodo masih berharap banyak pada investasi asing guna mengelola baik kekayaan Indonesia maupun tatanan ekonomi nasional dengan banyaknya saham yang dimiliki asing baik secara privat maupun menggunakan Sovereign Wealth Fund (SWF: pembahasan pada artikel selanjutnya).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline