Lihat ke Halaman Asli

Dwi Suprayitno

Perencana transportasi

Sustainability: Belajar dari Sebatang Cabe

Diperbarui: 13 November 2020   11:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Masa pandemi memaksa kita untuk lebih banyak waktu dirumah, atau bahasa kerennya Work from Home (WfH). Disela-sela kesibukan pekerjaan saya mulai tertarik dengan urban farming, belajar dari youtube dan artikel-artikel online saya mulai mencoba menanam dihalaman rumah yang terbatas, baik dengan polibag maupun hidroponik berharap bisa mewujudkan ketahanan pangan keluarga, halah...

Nah dari pengalaman menanam ini saya menemukan satu hal yang menarik, dari semua jenis tanaman yang saya tanam mulai dari kangkung, selada, sawi, seledri, cabe semuanya tumbuh dengan subur dan bisa dipanen tepat waktu, cukuplah buat campuran mie instan hehe.

Demikian juga dengan sebatang cabe yang saya tanam, tumbuh dengan subur dan berbunga lebat namun yang tidak saya harapkan adalah seminggu kemudian bunga-bunga itu berguguran dan tidak menjadi buah. Itu yang terjadi terus menerus selama dua minggu berbunga dan kemudian rontok, sempat putus asa diminggu ketiga secara tidak sengaja saya melihat ada satu bakal buah yg muncul, berhubung lagi senggang cukup lama saya duduk didepan pohon cabe tersebut.

Ketika saya perhatikan ternyata ada kutu putih di bawah daunnya, kemudian ada semut yang wira wiri di batang cabe, kemudian ada lebah kecil yang sibuk hinggap dari satu bunga ke bunga lainnya, mungkin ada binatang lain yang luput dari pengamatan saya. Memang halaman belakang tempat saya menanam relatif terisolir dari dunia luar tertutup tingginya tembok batas dengan tetangga sehingga serangga-serangga mungkin jarang mampir, inilah rupanya yang membuat tanaman cabe saya gagal berbuah, karena tidak ada lebah yg membantu penyerbukan.

Bayangkan apabila satu batang cabe saja bisa membentuk satu ekosistem baru, memberikan makanan bagi semut, lebah kutu putih dan lain-lain, bagaimana kalau kita menanam seratus, seribu, sejuta aneka tanaman, bayangkan berapa jenis rantai makanan yang bisa kita selamatkan?

Di saat negara-negara di dunia berlomba-lomba alih fungsi lahan untuk berbagai tujuan ada baiknya kita merenungkan hal ini, bahwa yang hidup di dunia ini bukan hanya manusia, banyak makluk-makluk hidup lain yang berbagi bumi dengan kita baik flora maupun fauna, banyak diantaranya bahkan sudah masuk daftar appendix 1, diambang kepunahan akibat keserakahan kita. 

Ekosistem dan lingkungan yang sehat diperlukan untuk kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya. Banyak cara, banyak metode untuk meningkatkan kualitas hidup manusia tanpa terlalu membebani alam. Manusia dibekali akal budi untuk melakukan rekayasa (engineering) dalam mengelola alam secara bertanggung jawab, namun demikian pembangunan ramah lingkungan seringkali berhadapan dengan keserakahan manusia dengan dalih tidak ekonomis, tidak efisien dan lain sebagainya demi mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.

Bagaimanakah dengan Indonesia?  Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2020-2024 yaitu Prioritas Nasional ke-6 yang disebutkan di dalam Bab VII: Membangun Lingkungan Hidup, Meningkatkan Ketahanan Bencana dan Perubahan Iklim. Pembangunan Rendah Karbon merupakan platform baru pembangunan yang bertujuan untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi dan sosial melalui kegiatan pembangunan rendah emisi dan mengurangi eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan.

Konsep PRK menekankan pada trade-off kebijakan lintas sektor yang dibutuhkan untuk menyeimbangkan target pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan dengan upaya penurunan emisi serta mendorong tumbuhnya green investment untuk pembangunan yang berkelanjutan.

Seiring dengan dinamika pembangunan di tingkat nasional maupun global, diperlukan penguatan integrasi antara upaya pengendalian perubahan iklim dengan program dan pencapaian target-target pembangunan. Integrasi kebijakan pengendalian perubahan iklim ke dalam program pembangunan nasional mengandung arti bahwa perubahan iklim tidak hanya menyangkut isu lingkungan semata, namun juga terkait erat dengan pembangunan ekonomi dari setiap negara, sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu, diperlukan transisi pengendalian perubahan iklim dari semula hanya fokus pada upaya penurunan emisi GRK menjadi penanganan yang lebih holistik dengan tetap menjaga keberlanjutan dan keselarasan antara pembangunan ekonomi, sosial budaya, dan perbaikan lingkungan hidup melalui Pembangunan Rendah Karbon (PRK).

Konsep yang tertuang dalam RPJMN 2020-2024 sudah sejalan dengan tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB)/ Sustainable Development Goals (SDGs) yaitu pembangunan yang menjaga peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat secara berkesinambungan, pembangunan yang menjaga keberlanjutan kehidupan sosial masyarakat, pembangunan yang menjaga kualitas lingkungan hidup serta pembangunan yang menjamin keadilan dan terlaksananya tata kelola yang mampu menjaga peningkatan kualitas hidup dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline