Lihat ke Halaman Asli

Menjadi Berarti

Diperbarui: 11 Februari 2016   02:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sahabat sekalian. Melihat wajah anak-anak kita tidur pada tengah malam adalah pemandangan yang mengharukan. Dalam tidur itu, tak ada lagi kenakalan yang tersirat. Ia terkulai tak berdaya. Wajahnya yang tenang tanpa hasrat seperti menyodorkan tanya: akan ke manakah kelak nasibnya?

Dan kita tidak tahu perkara ghaib yang akan menimpa. Hidup manusia telah berada dalam ketentuan-ketentuan yang tak terelakkan: jodoh, rejeki, dan matinya. Ya. Kita tidak mengetahuinya. Dan kita bertawaqal karenanya. Meski juga, di luar itu banyak hal yang bisa kita upayakan. Karena keping nasib manusia adalah dua sisi: ada yang dibatasi, ada yang dilonggarkan untuk diupayakan.

Bahwa anak adalah harapan. Kita yang kian hari kian tua terus digerus pelbagai pengalaman yang menyudutkan pada kesadaran hidup yang berujung pada keterbatasan. Chairil Anwar, penyair yang paling bandel sekalipun menuliskan: Ada yang tetap tidak diucapkan, sebelum pada akhirnya kita menyerah.

Benar kiranya. Mungkin kita menyerah. Tetapi bukan berarti berhenti. Karena kepada anak-anak, kita bisa mengabdi. Kepada suami kita bisa mengabdi. Kepada istri kita bisa mengabdi. Kepada ibu kita bisa mengabdi. Kepada adik-adik kita, demikian halnya. Kepada handai taulan, kepada para sahabat, dan seterusnya.

Betapa kita ini kaya dengan waktu dan kesempatan untuk itu. Kita mesti mensyukurinya. Dan jika ada yang beroleh nikmat mampu mensyukuri itu, betapa ia berada dalam kebahagiaan yang tak ternilai harganya. Tapi kita manusia, sering tidak fair karenanya. Karena kita punya hasrat. Sementara naluri hasrat manusia tak punya terminal pemberhentian. Ia terus beranak-pinak, membuat barisan-barisan, mencegat pengabdian kita.

Jika sudah campur baur demikian, pengertian bisa dijungkir-balikkan. Pengabdian yang mestinya bernilai membahagiakan, bisa bermakna mengerikan. Kita menjadi kuatir dan menderita karenanya. Dan karena ini, seorang kepala keluarga bisa rontok kearifannya, karena tersibukkan perkara-perkara yang lebih memuaskan pribadinya. Seorang ibu akan gampang jengkel dan marah atas kenakalan putra-putrinya. Seorang pemimpin akan gampang mengurbankan rakyat dan masa depan bangsanya.

Ya. Ketika melihat wajah anak-anak kita tidur pada tengah malam itu, kita setengah berziarah. Kita berada di garis yang fana. Wajah-wajah yang lemah itu bagai melambai. Memanggil kita. Untuk mengabdi. Untuk menjadi berarti.

Yogya, 10 Mei 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline