Lihat ke Halaman Asli

Pesan Berantai "Religius" Tsunami: Menggarami Luka Menganga?

Diperbarui: 26 Juni 2015   07:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1300170518467990690

....memberi vonis pendosa kepada para korban bencana alam buat saya tentu suatu hal yang teramat berlebihan. Logika sederhana kita mengatakan bahwa tak semua korban itu adalah pelaku dosa besar yang harus diganjar dengan azab....

Acapkali bencana menimpa suatu daerah, seperti yang baru-baru ini terjadi di Jepang, maka para pengguna gadget akan dibanjiri pesan-pesan religious yang mengingatkan betapa hina dina diri kita yang tak mampu melawan kuasa semesta. Beberapa akan terpekur dan kemudian ber-istigfar atau mensyukuri nikmat yang kini dirasakan, beberapa lagi mungkin akan abai dan merasa tak ada hubungannya. Semua punya pandangan dalam memaknai bencana, meski berbeda dalam penyikapan. Namun, ada beberapa kawan yang mungkin sangking insyaf-nya berusaha mencari keterpautan antara bencana dengan apa yang terkmaktub dalam Kitab Suci. Buru-buru lah mereka mencocok-cocok-kan detail jam, menit dan detik terjadinya bencana dengan nomor ayat yang ada dalam kitab suci. Kemudian mereka memberi 'penafsiran' musabab bencana itu dengan ayat yang mereka kaitkan. Buat saya yang mungkin awam dari segi tafsir kitab suci apalagi ilmu Hermeneutika, tentu melakukan penafsiran secara kontekstual sah-sah saja. Kita diberi bekal otak dan logika berpikir dari sang Pencipta dan karenanya bisa difungsikan dalam kerangka apapun, apalagi mungkin tujuannya adalah saling menasehati dalam kebaikan dan kesabaran agar terhindar dari dosa yang lebih berat. Tidak ada sesuatu yang terjadi secara kebetulan, kita mungkin menyetujui preposisi tersebut, terutama yang dibekali dengan logika ilmiah yang menjadi jiwa ilmu pengetahuan saat ini. Ilmu filsafat juga banyak yang memahami bahwa kejadian-kejadian yang ada adalah akibat rangkaian peristiwa yang jalin menjalin menghasilkan peristiwa lainnya, orang menyebutnya hukum sebab akibat atau kausalitas. Kitab suci juga banyak memberikan contoh bagaimana hokum sebab akibat ini berlaku, seperti banyak kejadian azab yang menimpa kaum pendosa setelah sebelumnya datang pemberi peringatan kepada umat itu. Kejadian yang menimpa Sodom, Gomorah, kaum Ad, pasukan Abrahah, Fir'aun, Namrudz, bahkan kisah Nabi Adam dan buah khuldi banyak dijadikan referensi mengenai bagaimana perbuatan dosa diganjar hukuman oleh sang Pencipta. Tapi memberi vonis pendosa kepada para korban bencana alam buat saya tentu suatu hal yang teramat berlebihan. Logika sederhana kita mengatakan bahwa tak semua korban itu adalah pelaku dosa besar yang harus diganjar dengan azab. Banyak justru contoh yang membantah keterkaitan antara bencana dengan dosa para korbannya. Tidak sedikit rumah-rumah ibadah yang hancur saat bencana tsunami di Aceh tahun 2004, termasuk para ulama yang menjadi korban. Bagi yang percaya kesucian Ka'bah dan tanah Mekkah di sekitarnya mungkin lupa bahwa kawasan suci ini pernah mengalami bencana banjir dahsyat tahun 1941, 1969 dan terakhir Januari 2011 yang menewaskan 4 korban jiwa. Apakah kita bisa 'memastikan' bahwa yang menjadi korban, termasuk yang harta benda nya hancur di tanah mulia kaum muslim itu adalah pendosa sehingga layak diganjar azab? Wallahu 'alam. Sedangkan azab yang menimpa para pendosa sebagaimana termaktub dalam kitab suci adalah kejadian luar biasa. Kita sering menyebutnya sebagai bagian dari mu'jizat para nabi. Meski ada musabab yang mendahului azab itu, tapi rentetan kejadiannya dipengaruhi oleh kejadian-kejadian yang tak kalah luar biasanya, hingga perilaku dosa yang paling mengancam kemanusiaan wajib diganjar dengan azab dan tindakan pencegahan demi melindungi kemanusiaan yang lebih bernuansa keabadian. Itupun setelah datang pemberi peringatan (nabi), namun diabaikan oleh umatnya. Azab itu pun sangat selektif sifatnya, karena kita percaya Tuhan tentu MahaAdil, yang hanya akan menghukum para pelaku kejahatan dan melindungi hambaNya yang baik. Alih-alih memberi rasa ketenangan dan membantu para korban bencana, menyebarkan pesan berantai berkedok "religious" tentu ibarat member hukuman kepada mereka yang tertimpa kemalangan. Ibarat menggarami luka yang menganga, betapa pedihnya. Dan mohon maaf, "penafsiran" atas keterkaitan bencana dan ayat-ayat kitab suci adalah bersifat sangat relative meskipun bersandar pada ayat-ayat kitab suci yang absolute datangnya dari Tuhan. Penafsiran itu sendiri, terutama mengaitkan dengan bencana adalah sangat relative, tidak ada yang bisa membuktikan validitas penafsirannya hingga Tuhan datang sendiri member pembenaran, yang tentunya bukan di alam kasar ini. Mempercayai penafsiran itu pun akan mendatangkan masalah keyakinan, bahwa dengan meyakini keterkaitan bencana dan dosa maka anda seperti berharap mendapatkan azab yang sama ketika berbuat dosa dan tanpa sempat memohon ampun. Mau? Meski bermaksud untuk member peringatan kepada kita yang masih hidup dan jauh dari bencana, namun laiknya pesan-pesan seperti itu tidak perlu dibumbui dengan vonis dosa bagi para korban bencana. Tidak ada bedanya seperti mengolok-olok bencana itu sebagai bahan tertawaan. Sama hina nya. Cukuplah itu menjadi pemicu kita untuk lebih giat menanam kebaikan sebagai bekal di hari pembalasan kelak, sambil mendoakan kebaikan korban bencana tersebut ketika mereka berjamaah menghadap sang pencipta di alam sana. Foto di ambil dari link ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline