Jum'at kemarin, om Edwardo Guerrero, kawan kami relawan Peace Corps US kembali menemani anak-anak belajar di Sekolah Alam Wangsakerta. Anak-anak diajarkan membaca peta dan menghitung jarak tempuh antar kota, antar provinsi berdasarkan skala di dalam Peta. Mereka terkagum-kagum menghitung betapa jauhnya jarak yang ditempuh para lelaki di sekitar mereka yang pergi merantau jualan cobek untuk mencari nafkah. Ada yang ke Papua, Jambi, Kalimantan dan lain-lain.
Setelah belajar tentang Peta, anak-anak mengajak Eddy begitu kami memanggilnya bermain bola di Sukoi. Tanah lapang didekat makam mbah Benda Kerep, yang kerap dijadikan lapangan bermain bola oleh anak-anak. Kami para perempuan mengikutinya.
Dalam perjalanan, saya menggoda Misrati, anak perempuan berumur 15 tahun yang ikut belajar di SA Wangsakerta. "Rati, duh gimana ya ngeliat kamu sekecil ini sudah menggendong anak (bayi)", seloroh saya karena biasanya di kampung tersebut seumuran Rati ini sudah menikah. "iya, kalau di Posyandu tuh , saya sedih lihat anak2 sudah bawa bayi ke Posyandu", mbak Patimah Kwt, guru di SA Wangsakerta yang juga Kader Posyandu di Desa Setu Patok menimpali. "deuh, bli arep kawin, arep di pai mangan apa cilik2 kawin, kerikil tah", tandas Rati yang gemas digoda para gurunya.
Saya menulis ini karena tadi sore bertemu dengan seorang perempuan yang menikah di umur 10 tahun. Ia memiliki 7 anak dari suami pertama dan dua anak dari suami kedua. Saat ini perempuan tersebut berumur 40 tahun, dengan demikian kira2 dia lahir tahun 1978. Jika dia menikah umur 10 tahun, itu berarti dia menikah tahun 1988, satu tahun menjelang penetapan wajib belajar 9 tahun berdasarkan Undang-undang Pendidikan Nasional No. 2/1989.
Bertemu dengan perempuan tersebut saya teringat Rati Rah Rahmawati, murid kami di Sekolah Alam Wangsakerta.
Rati sebagaimana remaja perempuan lainnya di Desa Setu Patok, khususnya Dusun Karangdawa rentan untuk mengalami perkawinan anak. Di dusun tersebut rata-rata umur perkawinan terjadi di umur 15 tahun ke atas. Meskipun pemerintah telah mencanangkan wajib belajar 9 tahun bahkan 12 tahun, namun banyak anak-anak di dusun tersebut putus sekolah sejak kelas IV SD. Hal ini terjadi disebabkan oleh banyak hal diantaranya kesulitan ekonomi, sulitnya transportasi menuju sekolah. Orangtua yang saya termui menyatakan keinginanya agar anak-anak tetap sekolah namun mereka kedulitan untuk mendorong anaknya tetap ke sekolah. Hal ini dapat dipahami karena orangtua pada umumnya tidak sekolah, banyak dari mereka hanya lulusan sekolah dasar. Dengan demikian anak-anak tidak memiliki contoh yang dapat ditirunya.
Rati adalah satu satu anak yang bertahan untuk tetap belajar di sekolah alam wangsakerta, meskipun kawan yang lainnya tergoda untuk keluar dari sekolah dan mencari pekerjaan atau lebih suka hanya bermain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H