Lihat ke Halaman Asli

Catatan perjalanan 1: "Pengeluh"

Diperbarui: 18 Juni 2015   01:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perjalanan Cikarang-Cirebon, naik bis ekonomi di siang hari. Waktu terasa berjalan lambat sekali. Bis bukan hanya dipenuhi penumpang, tetapi penjaja makanan, pengamen dan pengemis. Panas dan bising. Hati trenyuh melihat betapa gigihnya pada penjaja makanan itu, bulak-balik dari pintu depan ke belakang bis, merayu menumpang untuk membeli dagangannya. Kadang-kadang disertai dengan kalimat penekanan yang terasa menyinggung.

Seorang penjual pulpen, pencil dan penghapus yang dikemas plastik sederhana seharga Rp. 10.000 per bungkus mengatakan "yang membeli ini, pasti karena sudah tahu berapa harganya di toko-toko". Seolah dalam kata-katanya ia ingin mengungkapkan, orang yang gak beli karena gak tahu harga dan akan rugi karenanya. Kata-kata tersebut terasa menyinggung saya, dalam hati saya berkata "merayu kok dengan cara menuduh, duh mengapa selalu menyuarakan prasangka buruk. Bukankah prasangka buruk menjauhkan rejeki".

Pengamen dari perempuan dan laki-laki bahkan anak-anak bergantian manggung di bis kami. Seorang ibu di sebelahku, bersungut-sungut. "para pengamen itu, pemalas. Lihat bu, setelah turun dari bis mereka seperti arisan, menghitung pendapatan dan tertawa-tawa. Saya aja yang sudah tua dan miskin begini, masih menjahit siang dan malam untuk menyekolahkan anak-anak. Mereka tidak malu meminta-minta", ujarnya.

Aku mengiyakan kata-katanya, memang jarang pengamen itu orang tua, biasanya anak muda, karena mereka harus narsis, menyanyi dengan suara seadanya, dan cekatan naik turun bis.

Lain lagi ceritanya dengan seorang pengemis. Masih muda dengan rambut kusut, dan pakaian kumal. Berpuisi setengah berteriak dan sumpah serapah. "Kami ini korban pembangunan, sekarang ini susah sekali cari kerja. Jadi buat saudara-saudara yang punya hati, berilah kami sedikit rejeki, receh pun tidak apa, dari pada kami mencuri atau merampok". Dari kata-katanya, ia menunjukkan dirinya korban. Dia tidak melihat bahwa penumpang di bis tersebut, hampir semuanya miskin, jika kaya lebih baik naik kendaraan yang lebih baik, selamat dari panas dan dirinya. Terasa muak mendengarkan kata-kata pengemis ini, yang selalu menyalahkan orang lain atas keadaannya.

Tiba-tiba pikiran ku melayang ke kejadian lain. Mengingat seseorang yang katanya pintar, cerdas, islami dan sangat berbakat memimpin negara ini namun bergaya bicara sama dengan pengemis yang memaksa itu. Merasa dirinya menjadi korban keatidakadilan, merasa dirinya yang paling berhak atas suatu jabatan. Hal ini membuat ku tersadar, bahwa tidak adil kiranya jika aku muak pada pemuda itu, yang mungkin saja pendidikannya rendah, lingkungan yang tidak mendukung hingga kesadaran tentang dirinya begitu rendah. Kesadaran bahwa ia mampu untuk maju, bukan jadi pengemis.

Tidak adil jika aku menyimpan muak padanya, ada benarnya ia memang korban. Korban dari para pemimpin yang tidak mampu memberi contoh bahwa menuntut hak harus selalu diiringi kewajiban. Jika merasa punya hak untuk maju, seseorang wajib memeuhi kewajiban belajar, berupaya sekuat tenaga untuk maju bukan menjadi pengemis. Jika merasa punya hak untuk menjadi pemimpin, ia berkewajiban menunjukkan jiwa sebagai pemimpin yakni legawa dan terus berjuang untuk kemajuan Indonesia dalam jabatan/posisi apapun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline