Lihat ke Halaman Asli

Artikel di BMJ dan Pengalaman Memberikan ASI Eksklusif Selama 6 Bulan

Diperbarui: 26 Juni 2015   09:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beauty. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hari ini saya membaca berita mengejutkan di Kompas. Rekomendasi WHO agar menyusui bayi selama 6 bulan tanpa tambahan apapun dipertanyakan oleh sejumlah peneliti Inggris. Kompas mengutip berita tersebut dari BBC. Sayangnya di Iran situs BBC tidak bisa diakses. Jadilah saya menelusuri Google News. Sampai pukul 9:20 pm waktu Tehran atau tanggal 15 Januari pukul 00:50 WIB, Google mencatat 328 artikel yang memuat berita itu. Agar tidak salah paham, saya langsung menuju British Medical Journal, media pertama yang melansir temuan ini.

Tulisan yang dimuat BMJ merupakan analisis dari 34 sumber bacaan. Metoda tersebut dikenal sebagai studi pustaka (literature review). Tentu sah-sah saja memilih kajian pustaka sebagai metoda penelusuran dan pemecahan masalah. Yang sering dipertanyakan oleh masyarakat umum adalah seberapa jauh kesimpulan sebuah penelitian (termasuk studi pustaka) boleh dipercaya. Apakah saran yang dipaparkan tim peneliti di atas bisa diterapkan langsung dalam kehidupan sehari-hari?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, saya ingin menceritakan pengalaman memberikan ASI Eksklusif selama 6 bulan. Sebagai ibu, amat wajar bila saya ingin memberikan yang terbaik untuk sang buah hati. Apalagi perlu waktu hampir tujuh tahun untuk menanti kehadirannya. Tambahan lagi, sebagai 'orang kesehatan', konsep ASI Eksklusif (ASIX) demikian dalam tertanam di benak saya. Ibarat buku, segala keunggulan ASIX telah saya hapalkan di luar kepala. Sudah khatam, begitu istilah Kong Haji.

Awalnya memang berat. Begitu selesai operasi, air susu saya tidak keluar dengan lancar. Padahal dua jam sekali anak saya dibawa ke ruangan. Setelah disusui, kembali anak saya diambil perawat ruang bayi. Saat itu saya tidak tahu apakah anak saya betul-betul mengisap ASI atau cuma udara. Menjelang pulang,  anak saya menangis kencang karena kelaparan. Perawat akhirnya memberikan cairan dekstrosa kepada anak saya yang disuntikkan langsung ke mulutnya.

Sesampai di rumah, mulai terjadi perjuangan prinsip antara saya dan Mama. Sebagai nenek, Mama tidak tega mendengar tangisan anak saya. Mama mendesak saya agar membeli susu formula. Namun saya tetap pada pendirian 'no infant formula at all'. Lagipula susu formula di Iran hanya dijual di apotek, tidak dipasarkan bebas seperti di Indonesia. Untunglah Mama mau mengerti. Alhamdulillah, esok harinya air susu saya keluar setelah dipijat Mama. Anak saya pun tidak kelaparan lagi.

Hari-hari sebagai ibu baru berlalu begitu cepat. Orangtua saya kembali ke Indonesia ketika anak saya berusia 47 hari. Tinggallah saya dan suami mengurus bayi kami, tanpa pembantu dan baby sitter. Perlahan saya mulai terbiasa dengan rutinitas seorang ibu yang memiliki bayi. Menyusui, mengganti popok, mengajaknya bermain sambil memasak di dapur atau menyetrika pakaian. Saat usianya menginjak enam bulan, kegiatan saya bertambah dengan menyiapkan makanan untuk anak lalu menyuapinya.

Segala penat yang mendera menghilang seketika begitu melihat anak saya tertawa. Belum lagi mimik lucunya saat menguap bahkan buang air besar. Alhamdulillah, sejak lahir hingga detik ini boleh dibilang anak saya sehat selalu. Kalaupun ada gangguan pada dirinya hanya berupa sensitivitas kulit terhadap perubahan cuaca. Saat musim berganti, kulit anak saya agak kemerahan. Dengan olesan salep yang mengandung mometason furoat kulitnya kembali mulus. Mengenai kulit sensitif ini saya menduga faktor genetik yang menjadi sebab utama. Kulit saya dan suami tergolong agak sensitif. Ketika tiba di Iran pun kulit saya langsung gatal-gatal karena iklim subtropis. Setelah beberapa bulan menetap di sini barulah kulit saya normal kembali.

Gangguan lain yang pernah dialami anak saya adalah alergi susu sapi. Ceritanya saya ingin mencobakan bubur bayi kepada anak saya. Produk tersebut keluaran sebuah perusahaan internasional yang memiliki pabrik di Iran. Tak sampai 10 gram bubur bayi yang masuk ke mulut, tubuh anak saya langsung bereaksi. Kulit wajahnya memerah, mata dan bibirnya bengkak. Ia pun terbatuk-batuk. Saya dan suami langsung panik. Sambil menunggu kontak dengan dokter anak, saya tepuk-tepuk punggung anak saya untuk meringankan batuknya. Saya jemur anak saya di bawah matahari musim dingin yang bersinar ala kadarnya. Entah faktor sinar matahari atau daya tahan tubuh anak saya yang kuat, tidak lama kemudian kulitnya kembali normal. Saat ia tertidur, matanya masih sedikit bengkak. Begitu bangun, anak saya kembali ceria, seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Kami pun batal mencari bantuan dokter anak.

Bicara pertumbuhan fisik, tubuh anak saya terlihat normal. Tidak kurus juga tidak obes. Berat badannya sesuai dengan rata-rata standar WHO. Demikian pula panjang badan dan lingkar kepalanya. Perkembangan motoriknya pun lumayan cepat. Tengkurap di usia 3 bulan, duduk di usia 5 bulan. Di usianya yang hampir 7 bulan ini ia sedang belajar berdiri. Kemampuan bicaranya sudah dimulai sejak usia 2 bulan. Memang belum bisa berbicara seperti anak usia 2 tahun. Namun ia bisa memanggil saya dengan panggilan 'Una', plesetan dari kata 'Bunda', dengan jelas sekali. Urusan ke belakang pun sudah bisa dilakukannya di kamar mandi. Sekali lagi, memang belum sempurna tapi saya sangat bahagia melihatnya tidak takut lagi duduk di atas kloset.

Atas semua pencapaian tersebut, saya meyakininya sebagai hasil ASIX. Bukan faktor satu-satunya memang. Ada unsur genetik dan lingkungan yang turut berperan. Pula vitamin yang harusnya saya berikan setiap hari. Kalau saya tidak lupa atau anak saya sedang good mood, vitamin itu sampai ke mulutnya. Nyatanya tidak mudah meneteskan vitamin pada bayi sebelum ia bisa duduk.  Di Iran bayi yang baru lahir wajib diberikan tambahan vitamin A dan D sebanyak 25 tetes setiap hari untuk melengkapi program ASIX. Dokter anak saya bahkan meresepkan multivitamin yang harus saya berikan hingga ia berusia 6 bulan. Setelah masa itu, multivitamin yang diberikan ditambah dengan zat besi. Zat besi inilah salah satu hal yang diperkarakan oleh artikel di BMJ.

Beberapa literatur yang saya baca memang menyarankan pemberian tambahan zat besi pada anak di atas usia 6 bulan. Tambahan zat besi diperlukan untuk mengantisipasi kurangnya mineral tersebut pada ASI atau makanan pendamping ASI. Setahu saya di Indonesia belum ada program wajib pemberian vitamin A dan D serta zat besi tiap hari. Tambahan vitamin buat bayi hanya berupa vitamin A saban bulan Februari dan Agustus. Perbedaan kebijakan ini bisa jadi didasarkan pada pola makan ibu di kedua negara. Dengan jenis makanan yang beragam pada ibu-ibu di Indonesia, potensi terjadinya kekurangan gizi pada bayi yang mendapat ASIX lebih kecil daripada di Iran. Ini cuma hipotesis, sekaligus harapan saya pribadi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline