Lihat ke Halaman Asli

dharu suwandono

ora penting dadi opo-opo, nanging dadio opo-opo sing manfaati

Kinerja dan Disiplin Ala KONOHA

Diperbarui: 5 Februari 2025   09:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

editing from PNGtree

Weling..

"Wong mergawe iku golek sing penak nanging ora sak penak e dewe, becik tandang tanpa pamrih semono ugi dadi tulodho, ora mung metentengi lan seneng maido kanti iren-irenan"

Miss Konsepsi

Bertajuk sebagai negara unik yakni "no viral no justice", Indonesia juga kental dengan budaya "no selfie no action". Hal tersebut menjadi sebuah trend-paradigm, dimana hal tersebut juga di amin-i para pelaku-pelaku kerja dalam konteks carut-marutnya dunia kerja saat ini.

Sebuah simbol atau formalitas dalam bentuk absen kehadiran,  tanpa disadari atau tidak, bisa dikatakan telah menipu kita dalam bentuk pencitraan, dimana hal tersebut menjadi ukuran yang menentukan seseorang tersebut bekerja secara baik atau tidak.

"Wong senengane tekone awan tapi mulih e isuk..", ujaran dan bualan negatif yang sering dijadikan standar buruk bagi seorang pegawai. Walaupun juga tidak bisa dibenarkan jika hal tersebut terjadi, akan tetapi hal tersebut juga tidak bisa dijadikan alibi seseorang yang datang pagi tepat waktu telah memenuhi standar kinerja yang baik.

Jika memakai logika terbalik, maka fungsi kehadiran seseorang untuk memulai tugasnya sebagai seorang pekerja dapat diwakili dengan sebuah absen. Bagaimanapun baik atau tidaknya, dan seperti apa dia bekerja tidak akan menjadi masalah, karena cukup terwakili dengan seberapa aktif dia tampil di area selfi (rekam faceprint.)

Sebagai contoh jika seorang guru atau staf datang tepat waktu dalam bentuk akses-print (fingerprint/faceprint) setelah itu dia hanya duduk dan asyik bergadget-ria sampai yang bersangkutan beranjak pulang, maka secara kinerja dalam bentuk kehadiran sudah terwakili dan terbaca baik.

Hal tersebut juga terjadi pada mayoritas birokrasi yang mengedepankan model-model simbolis (pencitraan) semata untuk dapat dikatakan sebagai "bekerja" secara baik. Pelayanan yang baik dan keterselesaian beban tugas yang menjadi kaidah AUPB (Asas-asas Umum Pemerintah yang Baik) tidak lagi menjadi orintesi utama dalam birokrasi yang dijalankan.

Budaya kerja yang tak sehat akan tercipta dalam ruang atau suasana kerja, dimana memungkinkan timbulnya permasalahan baru, yang justru akan menghambat. Berorientasi pamrih, saling curiga dan bahkan saling menjatuhkan adalah keadaan yang akan tercipta dalam ruang tersebut.

Dengan sifat opportunis dan self-oriented pegawai dalam nuansa negatif, cenderung memunculkan kebiasaan dan budaya baru agar tampilan luar (casing) terlihat baik dan menarik. Setiap pegawai akan berorientasi pada tampilan kerja semata baik itu absensi atau kelengkapan administrasi, daripada bentuk proses, progres dan hasil kerja yang memang menjadi kaidah seseorang dalam bekerja.

Sebagai contoh yakni bawahan akan berusaha mencari muka (ngatok) untuk mendapatkan sesuatu yang menguntungkan bagi dirinya, seperti promosi jabatan. Begitu pula seorang atasan akan memanfatkan tingkat jabatannya untuk menekan bawahannya harus bekerja sesuai dengan selera Bapak, alias asal Bapak senang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline