Berbekal istilah "Suudzon" pada tindakan yang diprediksi akan berindikasi lahirnya kejahatan, lebih bisa dikatakan bijaksana, daripada ber-"Kuznudzon" dalam diam tetapi membiarkan semua keburukan terjadi. Konsep berfikir seperti ini tak semestinya menjadikan upaya pencegahan (preventif) terstigma sebagai sentiment atau provokasi terhadap sesuatu yang sepantasnya mendapatkan pengawasan secara proporsional.
Masyarakat awam sangat sulit menterjemahkan sebuah konstitusi akan berlaku baik dan bijak sebagai cara untuk berdamai dengan berbagai aspek kehidupan bernegara. Hal tersebut mengingat bahwa konstitusi itu sendiri pada akhirnya cenderung hanya menjadi sebuah perangkat kepentingan untuk memfasilitasi kebutuhan-kebutuhan tertentu, dalam hal ini terkait dengan kepentingan para penyeleweng konstitusi.
Kaidah umum lahirnya sebuah konstitusi secara substansial adalah pembatasan, pembagian atau pendeskripsian tupoksi kewenangan dari sebuah kekuasaan, yang dalam hal ini pemerintah sebagai penyelenggara sebuah negara. Dengan kaidah tersebut kekuasaan itu sendiri wajib berupaya melakukan pemenuhan, pengaturan dan sekaligus perlindungan hak asasi manusia dalam penyelenggaraan sebuah negara.
Muatan substansial tersebut secara esensial (lebih bermakna) terbentuk dan tersusun atas bingkai intelektual sebagai pandangan akademis dan juga bingkai moral sebagai pandangan normative. Sehingga konstitusi yang tersusun atas format substantive secara tertulis, juga tak bisa terlepas dari esensial yakni akal sehat dan etika. Maka secara sederhana bahwa konstitusi lahir sebagi kesepakatan bersama atas akal sehat dan moralitas
Dalam perkembangan berkonstitusi di Indonesia, pengetahuan akan konstitusi seringkali tak mampu tersajikan dengan baik. Bukan karena bentuk formal pendidikan yang kurang baik, melainkan karena minat dan kesadaran berkonstitusi sangat kurang di usia pelajar. Demana terlihat darikonteks faktual kehidupan yang mereka jalani, dan didukung pula mentalitas mereka yang belum stabil.
Sedangkan pada ruang lain melalui forum debat kepentingan di antara elit-elit, seringkali menyajikan tontonan debat kusir yang memberikan pandangan kurang baik secara etik. Tata laksana lapanganpun tak jauh berbeda buruknya, dimana seringkali produk hukum itu sendiri syarat akan perlakuan kriminalisasi dan atau intimidasi pada masyarakat awam, atau sering kita dengar dengan "hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas'.
Langkah kongrit menjaga integitas sebuah konstitusi sangat perlu dilakukan sebagai upaya menjaga marwah konstitusi sebagai penjaga dan pengawas dengan netralitasnya. Upaya tersebut harus mendapat perhatian khusus, karena banyak ditengarai seringkali kejahatan terselubung dan absolut muncul dari penyalahgunaan konstitusi oleh pihak-pihak tertentu yang dapat kita definisikan sebagai "Penunggang Gelap kontitusi".
Para penunggang Gelap
- Pembalikan alur pembentukan produk hukum
Seperti kita ketahui, produk hukum diawali dengan sebuah perencanaan, penyusunan, pembahasan, penetapan dan pengundangan. Proses procedural yang semestinya menjadi tahapan-tahapan yang runtut, dilakukan terbalik atau acak dengan tujuan kepentingan tertentu. Hal tersebut akibat terlepasnya naskah akademis sebagai bagian atau tahapan penting yang sengaja dihilangkan atau dimanipulasi.
Dalam tahap awal, sebuah perencanaan dan penyusunan pastinya tak terlepas dari naskah akademis, yang didalamnya terurai pandangan, pertimbangan dan sekaligus dasar penguat lahirnya sebuah produk hukum.
Naskah akademis yang seharusnya menjadi kerangka dasar substansi-esesnsial dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, harus dikerdilkan fungsi dan perannya, karena terbaca akan mengancam dan atau membatasi perilaku-perilaku yang pragmatis, oportunis dan cenderung menyimpang.