Lihat ke Halaman Asli

Dwi Rahmadj Setya Budi

Penulis buku Suara Rakyat, Suara Tuhan; Mengapa Gerakan Protes Sosial Sedunia Marak?

Ketika Seniman Mengeluh Kondisi Bangsa, Demokrasi Berada di Usia Senja?

Diperbarui: 15 Februari 2021   15:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cak Nun bersama Iwan Fals menjelang diskusi dlm rangka ulang tahun Orang Indonesia ke-14 di Leuwinanggung (2013). Sumber: Twitter Masyarakat Maiyah

Seni budaya kerap dianggap "barang kelas dua". Seni budaya dianggap sebatas penghibur rasa gundah gulana. Tapi apakah anda tahu, seni budaya bisa merubah wajah, warna, dan perjalanan bangsa?

Tak usah melanglang buana mencari jejak sejarah dunia tentang mahsyurnya cerita seni budaya bisa menumbangkan penguasa. Cukup berkaca pada dua "orde" yang pernah ada di Indonesia, yakni Orde Lama (Orla) dan Orde Baru (Orba).

Menarik sejarah pada masa Orla, kita akan mendapatkan cerita-cerita tentang Manifes Kebudayaan (Manikebu). Secara ringkas, Manikebu merupakan penegasan bahwa seni dan kesenian merupakan perjuangan menolak belenggu atas nama apapun. Takdir kebebasan dan perlawan adalah jalan perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia.

Memasuki senjakala Orba, di tengah situasi penuh tekanan yang menyulitkan setiap gerak hidup orang banyak, Seno Gumira Ajidarma (sastrawan) menulis kata-kata, "ketika jurnalisme dibungkam, sastra angkat bicara". Sejarah juga mencatat, sekumpulan puisi Wiji Thukul juga meletupkan etos dan semangat perlawanan era Reformasi 1998.

Dari ranah musik yang merupakan salah satu bentuk ekspresi seni, Iwan Fals muncul dengan perlawanan yang terang melalui lirik-lirik lagunya. Hampir seluruh lirik lagunya berbicara tentang perlawanan. Ambil contoh, lagu 'Bongkar'. Iwan masuk dalam kritik paling ekstrimnya untuk mendobrak seluruh penindasan dan ketidakadilan.

Budayawan Emha Ainun Nadjib atau lebih dikenal Cak Nun, juga memiliki andil dalam lengsernya rezim Orba. Tentu bukan seperti pendemo yang turun ke jalan. Pada 17 Mei 1998, di Hotel Wisata Jakarta, Cak Nun bersama empat tokoh lainnya meminta Soeharto segera turun dari jabatannya. Empat hari setelahnya, 21 Mei 1998, Soeharto akhirnya meletakkan jabatannya.

Dari jejak sejarah itu, kita bisa membaca situasi hati yang belakangan sering diungkapkan para seniman dan budayawan, seperti Iwan Fals, Cak Nun, dan Sudjiwo Tejo. Ada kegelisahan yang mereka ungkap dalam kerumitan instrumen seni dan tutur katanya. Seolah memberikan sinyal/sandi morse rumit yang mengabarkan ada sesuatu yang bermasalah.

Dalam lagu barunya, yang dihimpun dari pandangan warganet, Iwan Fals menyiratkan situasi demokrasi Indonesia hari ini telah tercemar oleh sekumpulan Buzzer. Dalam lirik lagu berjudul "Buzzer" tersebut, Iwan menjelaskan para buzzer dibayar untuk membungkam lawan politik penguasa.

"Para buzzer Cuma membuat kita kalah mental. Hanya satu orang, membuat kita diam seribu bahasa. Bila kita sudah diam maka penguasa tertawa tertawa terbahak-bahak. Saatnya bangkit membantah kembali demokrasi yang katanya berpancasila. Semua mempunyai hak yang sama di depan UU," salah satu penggalan lirik lagu Iwan Fals berjudul "Buzzer"  di kanal YouTube Iwan Fals Officials.

Hal senada juga diungkapkan seniman, budayawan, sekaligus sastrawan Sudjiwo Tejo. Serangan para buzzer terhadap para pengkritik penguasa kerap kali di luar nilai kemanusiaan. Kritik tak lagi dijawab dengan data dan fakta. Kritik berupa pikiran dan sikap dihajar dengan serangan pribadi dan maki-makian.

Mengutip pemikiran Bung Karno, Sudjiwo Tejo yang dikenal dengan panggilan Presiden Jancukers mengaku takut jika buzzer dibiarkan justru akan menumbuhkan atau memantik api revolusi. Karena revolusi menurut Soekarno tidak berasal dari banyak orang, melainkan berasal dari 'hanya' segelintir orang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline