Lihat ke Halaman Asli

Dwi Rahmadj Setya Budi

Penulis buku Suara Rakyat, Suara Tuhan; Mengapa Gerakan Protes Sosial Sedunia Marak?

Indonesia Menuju Negara Diktator Konstitusional?

Diperbarui: 23 Oktober 2020   14:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi diktator dalam demokrasi, Sumber: Media Konsumen

Belakangan ini, aksi unjuk rasa marak terjadi. Tidak hanya di ibu kota negara, tapi juga terjadi di banyak daerah lainnya di Indonesia. Bahkan para pengunjuk rasa mempelintir istilah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diatur untuk menekan laju pandemi Covid-19 menjadi "Pembangkangan Sipil Berskala Besar".

Istilah pembangkangan atau ketidaktaatan sipil dipopulerkan oleh Henry David Thoreau di AS dengan esainya yang berjudul Civil Disobedience. Tulisan Thoreau yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1849 ini sukses menginspirasi dan merubah alur sejarah peradaban dunia. Contohnya, gerakan hak pilih perempuan AS oleh Susan B. Anthony di akhir 1800-an, Saad Zaghloul di 1910-an yang berpuncak pada Revolusi Mesir 1919, Mahatma Gandhi pada 1920-an dalam protes untuk kemerdekaan India, dan protes Martin Luther King Jr selama gerakan hak-hak sipil di AS tahun 1960-an.

Pembangkangan sipil merupakan penolakan aktif warga negara untuk mematuhi hukum, tuntutan, dan perintah tertentu dari pemerintah. Menurut Thoreau berpendapat bahwa individu tidak boleh mengizinkan pemerintah untuk mengesampingkan atau menghilangkan kesadaran mereka, dan menghilangkan partisipasi publik untuk memungkinkan pemerintah untuk menjadikan mereka sebagai agen ketidakadilan.

Dalam konteks Indonesia kekinian, menurut pengamat politik Tarmidzi Yusuf, ada beberapa peristiwa penting yang berpotensi membawa negara ini menuju diktator konstitusional dan berakhir pada pembangkangan sipil. Salah satunya adalah ketika konstitusi menjadi alat politik dan DPR menjadi tukang stempel lembaga kepresidenan.

Lebih jauh, pakar hukum dari Universitas Tarumanegara, Dr Ahmad Redi dalam webinar Masyarakat Hukum Tata Negara yang diselenggarakan pada 1 Juni 2020 mengatakan, pengesahan Perppu No 1/2020 tentang Corona menjadi UU berpotensi melanggar Pasal 23 dan Pasal 20A ayat (1) UUD 1945. Berikutnya, pengesahan UU Minerba oleh DPR juga dianggap cacat formalitas karena tidak sesuai Pasal 22D UUD 1945 dan Putusan MK No 92/PPU-X/2012 serta cacat substansi karena tidak sejalan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945.

Selanjutnya, pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang juga dianggap banyak elemen masyarakat sebagai sebuah "skandal". Selain anggapan undang-undang ini merugikan banyak pihak dan menguntungkan bagi sebagian kecil orang, undang-undang ini juga dianggap cacat formalitas, tidak transparan dan banyak anggapan "pasal siluman" yang disusupkan pasca ketok palu DPR RI. Kesamaan dari tiga undang-undang ini menurut publik adalah "mencuri kesempatan dalam kesempitan" dan disahkan pada saat situasi pandemi Covid-19.

Adapun pola komunikasi pemerintah menanggapi protes rakyat juga terkesan mengarah pada praktek diktator. Misalnya seperti tuduhan makar pada tokoh dan diskusi akademis pada Ruslon Buton dan diskusi yang diselenggarakan FH UGM tentang pemecatan presiden. Selain itu, pendekatan represifitas daripada membuka ruang dialog juga kerap menumpahkan amarah dan darah.

Menurut politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Budiman Sudjatmiko menjelaskan bahwa setiap rezim otoriter itu biasanya maju dalam bidang pembangunan infrastrukur, tetapi tidak demikian halnya dengan kebebasan dan hak asasi.

"Di mana-mana infrastruktur maju itu kalau dibangun di rezim otoriter. Jerman maju (di era Kekhalifahan) Ottoman. Korea Selatan juga di era Park Chung Hee," kata Budiman, Kamis (22/10/2020).

Apakah pernyataan Budiman selaku sesama petugas partai (pemerintah berkuasa) ini mengkonfirmasi bahwa pemerintah hari ini sudah mengarah pada praktek tangan besi (diktator) dan memanfaatkan koalisi "lebih separuh" di legislatif untuk menciptakan diktator konstitusional? Sebab, sama diketahui dan tak bisa dipungkiri, pemerintah hari ini gencar dan membanggakan pencapaian percepatan pembangunan serta indeks demokrasi Indonesia yang terus menunjukkan tren penurunan.

Tentunya, anggapan publik ini tidak boleh ditanggapi dingin dan tipis kuping oleh penguasa. Sebab, moral politik pemimpin yang baik itu adalah mendengarkan suara rakyat. Dalam iklim demokrasi, rakyat yang berdaulat. Mengutip quote Presiden RI keenam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), "Politik disamping ada kepatutannya, juga harus mencerdaskan. Apa akal sehat dan keadilan harus kalah dengan kepentingan sesaat?".

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline