Aksi protes dan mogok kaum buruh di Indonesia telah terjadi sejak 2 abad silam. Pemogokan pertama dalam sejarah Indonesia tercatat terjadi pada tahun 1882 di Yogyakarta yang terjadi dalam tiga gelombang massa secara berturut-turut.
Adapun isu yang diangkat kelompok buruh, yakni 1) upah; 2) kerja gugur-gunung yang terlalu berat; 3) kerja jaga 1 hari tiap 7 hari; 4) kerja moorgan yang tetap dijalankan padahal tidak lazim lagi; 5) upah tanam sering tidak dibayar; 6) banyak pekerjaan tidak dibayar padahal bukan kerja wajib; 7) harga yang dibayar pengawas terlalu murah dibandingkan harga pasar; 8) pengawas Belanda sering memukul petani.
Apakah kita merasa akrab dengan tuntutan itu?
Selain itu, aksi protes buruh yang menjadi peringatan terpanjang dalam sejarah hari buruh di era kolonial juga pernah terjadi pada tahun 1923. Setelah perayaan 1 Mei, karena penurunan gaji buruh, seminggu kemudian terjadi pemogokan buruh kereta api yang tergabung dalam Vereeniging voor Spoor en Tramweng Personeel (VSTP). Aksi mogok ini meledak di beberapa kota.
Namun, aspirasi kaum buruh ditanggapi gertakan lebih keras oleh perusahaan kereta api; "Apabila dalam 24 jam pekerdjaan tidak didjalankan lagi maka pemogok akan dilepas", laporan Kaoem Moeda (11/5/1923).
Artinya, para buruh yang mogok jika tidak kembali bekerja maka akan dipecat. Selain itu, pengerahan pasukan militer KNIL dan kompi kedua dari Legiun Mangkunegaraan Solo juga dilakukan untuk mengawasi para pemogok dan menangkapi sejumlah tokoh buruh.
Apakah ancaman pengusaha dan represifitas aparat masih terjadi hingga hari ini?
Pandangan Negatif Penguasa atas Aksi Penolakan RUU Ciptaker
Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) yang akhirnya disahkan oleh DPR RI pada Senin, 5 Oktober 2020, berbuntut penolakan oleh sejumlah elemen masyarakat. Aksi unjuk rasa yang terdiri dari berbagai elemen; kelompok buruh, aktivis lingkungan, aktivis perempuan, masyarakat adat, mahasiswa, aktivis hukum dan HAM, anak STM, dan lain sebagainya, terjadi hampir merata di seluruh Indonesia dalam rentang 6-9 Oktober 2020.
Dalam mengantisipasi meluasnya aksi unjuk rasa sebenarnya pemerintah telah melakukan upaya dini. Hal itu terlihat dari terbitnya Surat Telegram Kapolri yang bocor ke publik dan sempat dikecam oleh beberapa pihak. Namun, derasnya penolakan di lapangan ternyata tak dapat dibendung hanya dengan Surat Telegram Kapolri dan tindakan represif oknum aparat semata.
Kontra opini pun terjadi. Pihak penguasa menyebut banyak informasi hoaks terkait UU Ciptaker. Pemerintah juga menyebut unjuk rasa penolakan UU Ciptaker disponsori. BuzzeRp tuding Partai Demokrat provokator dan sponsor unjuk rasa. Bahkan, ketika ada kerusakan yang terjadi saat unjuk rasa, tudingan demonstran sebagai perusuh pun disematkan untuk membalikkan reaksi publik.