Kampanye terbuka Jokowi di Banten, Minggu (24/3), menggunakan strategi karnaval dan pesta jalanan. Dalam konteks ini saya melihat, Jokowi sudah di ujung tanduk. Basis suara Jokowi sudah buyar sehingga ia harus menggunakan kebisingan agar orang lain meliriknya.
Dalam konteks ekonomi kreatif, karnaval diadakan untuk mendatangkan devisa dan kunjungan wisatawan. Artinya, karnaval merupakan ajang yang menarik rasa penasaran orang lain akan pertunjukan yang akan ditampilkan. Apakah nantinya pengunjung akan kecewa, itu urusan kedua. Begitu juga halnya dalam strategi karnaval di dunia politik, kemeriahan digelar untuk dapat menarik perhatian publik.
Agaknya pendapat ini tidak berlebihan. Hasil survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) terbaru memperlihatkan pasangan Jokowi-Ma'ruf teringgal 5 persen dari penantangnya Prabowo-Sandiaga. Hasil survei dari sejumlah lembaga yang tidak jelas sumber pendanaannya rontok gara-gara hasil ini.
Menurut Hermawan Kartajaya, dunia saat ini dikuasai tiga subkultur. Ketiga subkultur teresebut terdiri dari netizen, women (wanita), dan youth (anak muda). Mari kita bedah satu persatu.
Subkultur pertama yaitu netizen. Pada tahun 2014, serangan udara Jokowi sangat masif. Diketahui saat itu Jokowi menggunakan sebuah organ yang bernama Jasmev untuk menjaga saluran media online, baik itu media sosial (FB dan Twitter), serta kanal-kanal media online lainnya. Tidak dapat dipungkiri, keberhasilan tim serangan udara Jokowi ini memberikan andil yang besar mengantarkan Jokowi menjadi Presiden RI.
Namun, di Pemilu 2019 kali ini semua kegagahan tim cyber Jokowi tinggal cerita. Pasukan udara Prabowo yang bergerilya siang malam berhasil menguasai media sosial. Dalam polling yang dilakukan program televisi Mata Najwa beberapa bulan lalu, pasangan Prabowo-Sandi unggul di Facebook dan Instagram, sedangkan Jokowi-Ma'ruf hanya unggul di kalangan pengguna Twitter.
Hasil survei dari Media Survei Nasional (Median) juga menunjukkan hal yang sama. Untuk kalangan pengguna Facebook Prabowo-Sandiaga mendapatkan persentase 41,9 persen berbanding 42,4 persen dari Jokowi-Ma'ruf. Sementara untuk pengguna Twitter Prabowo-Sandi unggul 59,2 melawan 29,5, dan untuk pengguna Instagram pasangan calon nomor urut 02 ini unggul 47,9 persen berbanding 39,1 persen.
Lanjut ke subkultur kedua yaitu women (wanita). Tidak dapat dipungkiri istilah 'emak-emak' yang diusung Prabowo-Sandiaga lebih populer dibanding istilah 'ibu bangsa' yang disebut Jokowi. Tidak hanya populer, barisan emak-emak Prabowo-Sandiaga juga dikenal militan dan kerap membuat timses 01 'keki' (mendongkol/kesal).
Dalam beberapa kesempatan, 'emak-emak' pendukung Prabowo-Sandiaga ini tetap meramaikan acara yang digelar Jokowi dengan balutan bagi sembako. Namun setelah itu, 'emak-emak' ini dengan santai berswafoto dengan menunjukkan simbol angka dua dengan jari mereka dengan sembako pemberian Jokowi yang masih mereka pegang.
Subkultur terakhir adalah youth (anak muda). Subkultur inilah yang menjadi rebutan paslon nomor urut 01 dan 02. Karnaval dan pesta jalanan adalah salah satu strategi Jokowi-Ma'ruf untuk merebut hati pemilih muda (milenial). Akan tetapi, jika tim paslon 02 bisa meyakinkan pemilih milenial dengan sosok Sandiaga Uno, maka kemenangan telak atas Jokowi sudah di depan mata.
Kembali ke karnaval, Jokowi lupa bahwa karnaval itu berasal dari ungkapan dalam bahasa Latin Kuno carne vale yang berarti "selamat tinggal daging", yang menunjukkan bahwa saat tersebut adalah hari-hari terakhir orang boleh makan daging sebelum berpuasa selama prapaskah. Apakah ini tanda-tanda alam yang memberi sinyal Jokowi akan puasa dari jabatannya. Menarik kita tunggu hasilnya pasca pemilu 17 April 2019.