Lihat ke Halaman Asli

Dr RusdianLubis

Advisor at Indonesian Infrastructure Finance

Kegagalan Mas Teddy Rusdy, The Godfather and Man Of All Season Oleh Dr Rusdian Lubis

Diperbarui: 8 Maret 2021   01:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Telah banyak orang tahu tentang almarhum Marsekal Muda Teddy Rusdy melalui buku memoranya "Think Ahead (2009)" dan buku kenangan yang ditulis istri tercinta, Dr. Sri Teddy Rusdy (Mbak Sri) berjudul "Bintang Sakti Maha Wira Buat Mas Teddy (20015)". Semua buku ini menceritakan sukses Mas Teddy Rusdy (TR) khususnya sebagai prajurit. Penghargaan Bintang Sakti Maha Wira cukup menyimpulkan sukses dan karir almarhum.

Namun, pernahkah Anda membaca kisah kegagalan Mas Teddy Rusdy yang dian-diam saya juluki "the Godfather and man of all seasons" yakni "a man who is ready to cope with any contingency and whose behaviour is always appropriate to every occasion?"

Lombok Utara sekitar tahun 2008. Pantai itu berpasir hitam. Pagi itu, ombak tidak besar dan matahari malas bersinar. Kaki langit juga disaput awan. Suasananya seperti digambarkan oleh ki dalang dalam Suluk Tlutur "surem surem Hyang Diwangkara kingkin...lir mangukswa kang layon (suram suram Sang Surya berduka, seperti menyapa yang perlaya di medan laga)"

Suasana alam sesuai dengan hati muram. Medio 2008, saya melewati "mandatory retirement" dari PT Freeport Indonesia, salah satu perusahaan tambang tembaga dan emas terbesar di dunia. Jabatan cukup tinggi: Wakit Presiden Direktur/Deputy Chief Operating Officer.

Saat itu menginjak 56 tahun, usia matang bagi seorang profesional. Saya resah lantaran membayangkan Professional Life sudah tamat. Seharusnya, masih dapat menanjak atau bahkan melesat. Pekerjaan setingkat itu juga tidak banyak tersedia di pasar tenaga kerja Indonesia.

Di pinggir pantai pasir hitam, Mas Teddy Rusdy dan saya berendam. Ombak menyapu sampai pinggang. Mas Teddy Rusdy melirik wajah saya yang muram. Pria berkulit gelap itu bersenandung pelan lagu My Way, Come Back to Sorento, dan beberapa lagu kesayangannya. Suaranya macho, mirip Frank Sinatra. Mmm, sedikit miriplah.

Mas Teddy Rusdy tahu saya galau. Seminggu sebelumnya, saya utarakan situasi itu kepadanya. Ia langsung berkata, "Yan (nama panggilan saya), kita berdua ke Lombok yuk...". Diatur oleh stafnya, kami kemudian pergi berdua.

Sepanjang perjalanan, ia membeberkan rencana besarnya untuk membangun Lombok Utara melalui jalur bisnis dan investasi. Pulau Lombok dan NTB (Nusa Tenggara Barat) amat dikenal dan dicintainya. Tidak mengherankan, lantaran sekitar tahun 1970an, Mas Teddy Rusdy Pernah menjadi Dan Lanuh di Rembiga dan pejabat Partai Golkar di Lombok dan NTB.

Ia kemudian menawari saya menjadi salah satu "eksekutif" di perusahaan keluarga. Jawaban saya. "Matur nuwun Mas, saya pikirkan". Setelah acara di Lombok/ ia mengundang saya beberapa kali ke Bukit Golf untuk dikenalkan dengan beberapa kolega atau mitra bisnisnya yang beragam: pariwisata, pertanian-perkebunan, cleaning services, dan otomotif. Katanya, "Sudah saatnya you menjadi bos, kendati di perusahaan kecil, tidak terus-menerusan jadi karyawan di perusahaan besar".

Sebenarnya, dalam hati saya tertarik untuk ikut mengembangkan pariwisata di Pulau Lombok. Sekarang, kawasan itu telah menjadi salah satu tujuan wisata andalan. That man is visionary...and thinks ahead.

Namun, upaya Mas Teddy Rusdy untuk membuat saya menjadi businessman kandas. Sekitar tiga bulan kemudian, saya mendapat pekerjaan di ADB (Asian Development Bank) di Manila sebagai Chair of Compliance Review Panel. Jabatan itu setingkat Vice President, tetap sebagai...karyawan perusahaan/lembaga besar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline