Lihat ke Halaman Asli

Menteri Kesehatan Resah, Rakyat Indonesia Gelisah,... Dokter Susah

Diperbarui: 24 Juni 2015   04:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Untuk kesekian kalinya, Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi menjadi ‘bulan-bulanan’ publik atas sikap dan pernyataannya. Setelah candaan kontroversialnya tentang ‘bunuh pelan-pelan’, lalu kampanye kontroversial tentang bagi-bagi kondom gratis, dan yang terakhir adalah keresahan kontroversialnya tentang sertifikasi obat halal. “Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi mengaku resah dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (RUU JPH) yang bakal mengatur sertifikasi halal untuk obat-obatan. Jika itu diterapkan, maka akan banyak obat tidak akan lulus sertifikasi halal.”,demikian kompas.com memberitakannya. Silahkan baca :

http://nasional.kompas.com/read/2013/12/09/1931018/Menkes.Risau.Wacana.Sertifikasi.Halal.Produk.Farmasi

Keresahan ini seyogianya tidak dimunculkan di depan publik, karena banyak rentetan akibat negatif atas wacana yang dimunculkan sepihak oleh Kementerian Kesehatan. Sebagai tenaga medis, saya mendapat serbuan pertanyaan dari pasien, sahabat dari kalangan non-kesehatan, dan masyarakat atas polemik kehalalan obat yang diresepkan dokter. Inti pertanyaannya menunjukkan kegelisahan yang amat sangat: “Dok, jadi selama ini sebagian besar obat yang diresepkan dokter itu haram ya?”. Kalau sudah ditanya begini, siapa yang susah? Sudah pasti kami sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan yang dipersalahkan dan dikorbankan dengan beragam pemberitaan di media cetak dan elektronik.

Beberapa sejawat saya malah ada yang sangat cemas kalau masalah obat-obatan yang tidak bersertifikasi halal membuat dokter semakin rawan dikriminalisasi. Yah, ini semua akibat keresahan Menteri Kesehatan, timbul kegelisahan pasien/masyarakat, dan akhirnya kesusahan tenaga medis. Ntar disebut-sebut lagi jika dokter dan perawat di Indonesia kurang komunikatif, tidak mau introspektif, nggak inovatif, dan lain-lain. Padahal sumber masalahnya adalah kebijakan-kebijakan Kementerian Kesehatan yang sangat banyak meresahkan, menggelisahkan, dan menyusahkan. Semua itu berdampak kepada kesehatan rakyat Indonesia yang semakin terjajah.

Maksud Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyampaikan baru 22 obat yang bersertifikasi halal dari sekitar 30 ribu obat yang beredar di Indonesia adalah untuk mendukung segera di-Undang-undang-kan JPH. Pertanyaan Menkes tentang “Bagaimana jika sertifikasi halal diterapkan dalam produk farmasi, lalu ada obat yang tidak lulus sertifikasi halal? Padahal tidak ada lagi obat pengganti serupa” menunjukkan keresahan tanpa keilmuan yang cukup tentang halal dan haram. Saya yakin, MUI, dan lembaga yang akan dibentuk berdasarkan UU JPH pasti mempertimbangkan hal itu dalam membuat standarisasi produk halal.

Coba baca baik-baik beberapa pertimbangan dari RUU JPH yang saat ini masih terus ‘digoreng-goreng’ oleh wakil rakyat dan pemerintah kita.

a.bahwa setiap orang berhak mendapat perlindungan danjaminan untuk memeluk dan menjalankan ibadah agama sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

b.bahwa makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimia biologi, dan produk rekayasa genetik yang terjamin kehalalannya bagi masyarakat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perlindungan dan jaminan melaksanakan ibadah

c.bahwa makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimia biologi, dan produk rekayasa genetik yang beredar di masyarakat saat ini belum semua terjamin kehalalannya

d.bahwakehalalan produk makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimia biologi dan produk rekayasa genetik belum diatur secara komprehensif dan belum menjamin kepastian hukum

Atas pertimbangan-pertimbangan yang sangat mendasar tersebut, tidak ada alasan bagi wakil rakyat dan Pemerintah untuk menunda-nunda di-UU-kannya JPH, karena itu adalah hak rakyat Indonesia (sebagian besar muslim) yang diatur di dalam konstitusi.

"Saya hanya berpikir bagaimana seorang pasien tidak bisa mengkonsumsi obat karena ada sertifikasi halal. Lalu dia kena penyakit dan meninggal. Tanggung jawab siapa? Kami lagi yang akan disalahkan, bukan? Kita harus berikan perlindungan, itu hak setiap orang. Jadi ini kerisauan saya," demikian pernyataan Menkes. Jelas bahwa kerisauan Menkes ini hanya menggiring kepada pemahaman sesat tentang sertifikasi halal. Mari kita pahami tujuan dari penyelenggaraan JPH yang tercantum di pasal 3 RUU tersebut.

1.memberikan kenyamanan, keamanan, dan keselamatan kepada masyarakat dalam mengkonsumsi atau menggunakan Produk Halal;

2.menciptakan sistem JPH untuk menjamin tersedianya Produk Halal;

3.menumbuhkan kesadaran mengenai pentingnya JPH;

4.meningkatkan kemampuan Pelaku Usaha untuk menjamin kehalalan Produk;

5.meningkatkan keterbukaan & akses mendapatkan informasi terhadap Produk Halal

Tujuan tersebut harus dipahami secara komprehensif. Berdasarkan point 1, ada tiga faktor penting yang harus dipertimbangkan secara utuh terhadap kehalalan suatu produk (termasuk obat), yakni faktor kenyamanan, keamanan, dan keselamatan. Saya ingin menekankan faktor yang terakhir yakni keselamatan. Tentu itu menjadi pertimbangan krusial, ketika belum ada obat yang dapat menjadi alternatif untuk dikonsumsi oleh pasien/masyarakat. Dalam hal ini, MUI dan pemerintah (melalui lembaga yang dibentuk melalui UU) akan mengeluarkan fatwa (halal atau haram) berdasarkan keilmuan pakar-pakar di bidang kesehatan.

Saya malah berhipotesis, kalau keresahan Menkes ini adalah adanya pesan dari antek-antek asing terutama para mafia perdagangan obat-obatan di Indonesia. Mereka lebih resah kalau adanya aturan JPH akan membuka ‘tabir’ yang selama ini tidak diketahui masyarakat. Mereka resah kalau sistem JPH akan menghambat misi-misi terselubung yang sangat menguntungkan oknum-oknum tertentu. Mereka gelisah kalau obat-obatan yang mereka buat dan pasarkan akan terbongkar ‘boroknya’. Mereka susah kalau Menkesnya akan berpihak kepada nasib rakyat Indonesia. Wallahu Alam…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline