Lihat ke Halaman Asli

PEMBUNUHAN PELAN-PELAN ITU SEMAKIN NYATA DIRASAKAN DOKTER INDONESIA

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Candaan Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi dengan istilah “bunuh pelan-pelan” belum hilang dari ingatan kita semua. Pernyataan ini disampaikan pada Forum Rembug Nasional IDI, 26 Agustus 2013 yang lalu. Banyak orang yang masih menganggap itu hanya guyonan semata dan tak perlu dibesar-besarkan. Kementerian Kesehatan RI sendiri melalui akun twitter @puskomdepkes telah melakukan klarifikasi atas pernyataan Ibu Nafsiah Mboi itu. Namun tampaknya beliau semakin serius dengan candaan “bunuh pelan-pelan” dengan mengulang kembali istilah itu pada acara Hari Kesehatan Nasional ke-49 di JIE, 17 November 2013.

Tidak hanya istilah “bunuh pelan-pelan”, Ibu Nafsiah Mboi juga sering menggunakan istilah “hantui pelan-pelan” dan “tembak pelan-pelan” dalam setiap candaannya. Kontroversi istilah ini telah saya paparkan pada tulisan saya di kompasiana sebelumnya. http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2013/11/18/hati-hati-menteri-kesehatan-adalah-pembunuh-pelan-pelan-611738.html. Nah, sekarang mari kita cermati apakah kata “bunuh pelan-pelan” hanya sekedar candaan pribadi seorang Nafsiah Mboi atau suatu rencana sistemik yang tersistematis untuk menghancurkan harkat dan martabat profesi kedokteran di Indonesia. Salah satu caranya adalah dengan memanfaatkan hajatan besar untuk ‘memaksa’ beroperasinya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan pada 1 Januari 2014.

Sejak awal tahun 2013, pemerintah telah menggelontorkan dana yang sangat besar dalam sosialisasi dan persiapan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) agar bisa terlaksana di awal tahun 2014. Iklan-iklan di televisi dan media cetak menyambut secara “hingar-bingar” akan terbentuknya BPJS Kesehatan seperti layaknya “dewa penyelamat kesehatan rakyat Indonesia”. Iklan-iklan itu bahkan membius semua orang sehingga substansi JKN yang seharusnya lebih banyak disosialisasikan tak banyak dipahami masyarakat. Bagi yang menolak BPJS dikatakan sebagai orang yang tidak prorakyat. Apalagi orang seperti saya yang berprofesi dokter, dituduh sebagai seorang profesi yang mementingkan diri sendiri tanpa memikirkan nasib rakyat kecil. Bagi saya, tidak masalah atas tuduhan itu karena suatu saat rakyat Indonesia akan menyadarinya.

Pemerintah tidak ingin dikatakan “ingkar” lagi atas amanah UU No. 40/2004 tentang SJSN yang mengharuskan implementasinya terlaksana pada tahun 2009. Dengan sangat ‘tertatih-tatih’, akhirnya UU No. 24/2011 tentang BPJS disahkan juga oleh DPR dan mengamanahkan agar BPJS Kesehatan dapat beroperasi pada 1 Januari 2014. Sebagai proyek utang luar negeri yang harus segera dijalankan, Pemerintah seperti “kejar tayang” untuk mengeluarkan segala aturan turunannya. Mulai dari PerPres No. 12/2013 tentang JKN, lalu beberapa PMK dan KMK untuk mendukung terlaksananya JKN, semuanya dikeluarkan pada akhir-akhir tahun 2013. Apa implikasi dari aturan ini semua terhadap profesi kedokteran di Indonesia ?

Awalnya saya prihatin melihat organisasi profesi saya, Ikatan Dokter Indonesia, yang terlalu bersemangat mendukung terlaksananya JKN. Isu-isu JKN yang hangat dibicarakan sejak Muktamar IDI pada akhir tahun 2012 di Makasar telah ‘membutakan’ dan ‘melumpuhkan’ daya juang pengurus IDI yang seharusnya kritis terhadap kebijakan ini. Khawatir akan dinyatakan tidak siap atas implementasi JKN, IDI malah telah menyiapkan beberapa usulan kepada pemerintah (cq. Kementerian Kesehatan RI) agar JKN ini dapat diimplementasikan dengan baik. PB IDI telah membentuk POKJA SJSN, melakukan penelitian atas kapitasi dan tarif jasa dokter, membuat draft persetujuan kerja sama (PKS) antara dokter dan BPJS, dan lain sebagainya.

Namun apa yang terjadi ? Pemerintah ternyata telah mengesampingkan dan nyaris meniadakan peran organisasi profesi dalam implementasi JKN. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 455/2013 merupakan ‘puncak’nya dimana organisasi profesi tidak dianggap sebagai asosiasi fasilitas kesehatan di Indonesia. Pemerintah malah mengakomodir organisasi-organisasi baru (yang tak jelas cabang-cabangnya di seluruh Indonesia) dengan mengatasnamakan asosiasi fasilitas kesehatan. Di samping itu masukan PB IDI atas kebijakan JKN sama sekali tidak digubris oleh Pemerintah.

Namun akhirnya IDI tersadarkan akan adanya upaya sistematis menghilangkan secara perlahan (baca : bunuh pelan-pelan) atas peran organisasi profesi dalam implementasi JKN. PB IDI sangat terkejut melihat isi dari KMK No.455/2013 dan nyaris ingin melakukan uji materi atas kebijakan tersebut. Beberapa pengurus IDI di daerah mendesak agar segera mengadakan Rapat Pleno Diperluas untuk mengambil sikap atas keluarnya beberapa kebijakan kementerian kesehatan yang semakin ‘meniadakan’ keberadaan organisasi profesi di Indonesia. Saya sendiri selaku Pengurus Wilayah IDI Sumatera Utara dan hadir pada rapat tersebut, mendukung langkah PB IDI tersebut.

Secara pribadi saya masih mengharapkan agar implementasi JKN ditunda, sesuatu yang mustahil dilakukan pemerintah. Alasan saya menyarankan agar SJSN ditunda telah saya paparkan dalam beberapa tulisan saya di kompasiana sebelumnya. Salah satunya : http://hukum.kompasiana.com/2013/11/25/program-jkn-dan-apbn-2014-menzalimi-implementasi-uu-kesehatan-613833.html . Namun dalam hal ini, saya harus ikut aktif menolak KMK tersebut karena kebijakan ini merupakan bagian dari “pembunuhan pelan-pelan” profesi dokter di Indonesia. Nurani saya tergerak untuk ikut serta memperjuangkan hak-hak dokter yang semakin terzalimi.

Apa dampak KMK No. 455/2013 tersebut jika diimplementasikan? Pertama, dokter praktek sebagai salah satu fasilitas kesehatan (sesuai amanah pasal 23 dan 24 UU SJSN) seyogianya diwakilkan oleh organisasi profesi dalam proses negosiasi dengan BPJS Kesehatan, oleh karena cabang-cabangnya sudah tersebar di seluruh Kabupaten/Kota di Indonesia. Namun hanya karena tak paham bahwa IDI/PDGI juga memiliki upaya melindungi fasilitas kesehatan yang diselenggarakan anggotanya, akhirnya dokter praktek harus ‘diwakilkan’ oleh organisasi ‘kemarin sore’ yang mengatasnamakan asosiasi fasilitas kesehatan praktik perseorangan.

Kedua, kebijakan tersebut juga ‘mengikis’ peran organisasi profesi untuk melakukan kendali mutu/kendali biaya atas penyelenggaraan praktik kedokteran yang dilaksanakan anggotanya sesuai amanah UU Praktik Kedokteran. Organisasi profesi dikerdilkan hanya untuk ‘kumpul-kumpul silaturahim’ para dokter saja. Dalam implementasi JKN, banyak peran-peran IDI diambil alih oleh BPJS Kesehatan beserta asosiasi-asosiasi fasilitas kesehatan. Alhasil, jadilah IDI sebagai organisasi ‘buruh berjas putih’ yang hanya berteriak soal upah/gaji yang tak layak. Aktivis-aktivis dokter Indonesia yang sebelumnya kritis terhadap organisasi profesi IDI, akhirnya ikut mendukung penolakan PB IDI terhadap KMK No. 455/2013 tersebut.

Ketiga, KMK No. 455/2013 akan sangat memberatkan para dokter praktek yang ‘mau tak mau’, ia harus membayar iuran organisasi dan biaya-biaya lainnya kepada organisasi boneka BPJS yang mengatasnamakan asosiasi fasilitas kesehatan untuk praktik perseorangan. Asosiasi fasilitas kesehatan tersebut boleh dibilang sebagai organisasi ‘aji mumpung’ yang memanfaatkan KMK tersebut agar para dokter praktek mau menjadi anggotanya. Ini berdampak besar nantinya bahwa dokter praktek dijadikan ‘budak profesional’ yang gajinya harus dipotong untuk membayar biaya dan kutipan-kutipan lainnya yang mengatasnamakan asosiasi fasilitas kesehatan.

Tentulah kebijakan ini merupakan bagian dari upaya ‘pembunuhan pelan-pelan’ organisasi profesi yang semakin dirasakan oleh para dokter. Berdasarkan laporan-laporan dari beberapa sejawat di daerah, sudah banyak yang dipaksa untuk menandatangani agar menjadi anggota asosiasi fasilitas kesehatan tersebut, dipaksa untuk menandatangani persetujuan kontrak tanpa penjelasan hak-haknya dalam memberikan pelayanan kesehatan, dan dipaksa untuk menerima persetujuan kerja sama dengan BPJS Kesehatan di daerahnya. Banyak sekali di daerah-daerah dilakukan hal-hal seperti itu di saat ‘injury time’ implementasi JKN.

Melalui tulisan ini, marilah kita sadar akan upaya “pembunuhan pelan-pelan” profesi dokter di Indonesia. Jangan berpikir ‘sempit’ seakan-akan ucapan Menteri Kesehatan itu hanyalah guyonan pribadi seorang Nafsiah Mboi semata, karena jelaslah seorang Nafsiah Mboi tidak akan mungkin mempunyai niat untuk membunuh seperti yang diutarakannya. Lihat dan analisislah kebijakan-kebijakan pemerintah yang saat ini semakin ‘mengecilkan’ keberadaan dokter sebagai pengabdi kesehatan bangsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline