Beberapa dekade lalu, siapa yang tidak mengenal Fujifilm sebagai salah satu penguasa industri film foto di dunia, termasuk di Indonesia? Didirikan pada tahun 1934, selama tujuh dekade Fujifilm merajai industrinya dan bahkan nyaris memonopoli pasar film foto di Jepang. Di Indonesia pun dominasi Fujifilm begitu terasa, meninggalkan rival utamanya Kodak.
Saat arus digitalisasi pertama kali muncul pada sekitar tahun 1980-an, dampaknya baru terasa di pasar business-to-business(B2B). Pada saat itu, Fujifilm tampak selangkah lebih maju dari para pesaingnya dengan menawarkan sinar-X digital ke pasar rumah sakit. Fujifilm berani mengadopsi teknologi digital walaupun faktanya bakal menganibalisme divisi analognya. Keputusan manajemen puncak Fujifilm yang satu itu terbukti berbuah manis di kemudian hari karena membuat perusahaan menjadi lebih siap menghadapi gelombang era digital.
Pada tahun 1988, Fujifilm pun merilis kamera digital pertama di dunia, yakni FUJIX DS-1P. Kapasitas memori serta resolusinya memang masih sangat terbatas, dan harga yang dipatok pun cukup fantastis. Kamera tersebut beresolusi 1,1 megapixel dan memiliki memori yang hanya bisa menampung lima sampai sepuluh foto. Harganya? Lebih dari US$10.000! Tidak mengherankan kalau FUJIX DS-1P kebanyakan hanya digunakan oleh para fotografer profesional di industri majalah dan suratkabar.
Dengan resolusi rendah yang ditawarkan FUJIX DS-1P, Fujifilm jelas tidak mampu membuat fotografi digital menggeser dominasi fotografi konvensional. Faktanya, pasar film foto justru terus mengalami pertumbuhan. Bahkan pada tahun 2001, dua pertiga dari profit total Fujifilm masih berasal dari pasar film foto. Fakta inilah yang kemudian membuat manajemen puncak Fujifilm kembali putar haluan. Mereka beranggapan bahwa industri cetak foto bakal terus mengalami pertumbuhan yang langgeng dalam jangka panjang. Fujifilm pun mengesampingkan dulu divisi digital mereka dan malah menanamkan investasi jutaan dolar untuk mengembangkan Instax Mini, sebuah kamera analog yang pertama kali dirilis pada tahun 1998, yang mampu mengambil gambar dan mencetaknya langsung dalam hitungan detik. Instax Mini pun mengawali masa kesuksesannya pada tahun 2002 dengan terjual lebih dari satu juta unit.
Namun tak lama kemudian era digital pun tiba pada tahun 2003. Dan walaupun telah bersiap sejak sekitar dua dekade lalu, Fujifilm benar-benar merasakan dampak pahit dari kedatangan era digital. Bagaimana tidak, penjualan film foto terpangkas sepertiganya dalam kurun waktu kurang dari setahun! Biasanya, rata-rata gerai Fujifilm di Jepang memproses nyaris 5.000 rol film dalam sehari, namun dalam waktu enam bulan saja, jumlah film yang diproses tiap gerai tidak sampai 1.000 rol per harinya.
Begitulah, pasar yang tadinya memberikan dua pertiga profit perusahaan akhirnya seolah menguap begitu saja dalam sekejap mata. Walaupun sudah jauh-jauh hari memprediksi datangnya era digital, manajemen puncak Fujifilm jelas terkejut dengan dampak yang begitu tiba-tiba ini. Yang membuat dampaknya semakin parah adalah perpaduan teknologi antara kamera digital dan telepon selular (ponsel). Perpaduan ini benar-benar disruptif dan merevolusi fotografi digital. Fotografi digital menjadi lebih murah dan lebih cepat, sementara Facebook, Instagram, Path, dan Twitter semakin melejitkan "fotografi smartphone."
Fujifilm mutlak membutuhkan perubahan. Manajemen puncak pun bertindak cepat dengan menutup sejumlah pabrik manufaktur film dan mem-PHK sekitar lima ribu pegawai. Keputusan ini memang pahit, namun dengan begitu Fujifilm mampu memangkas biaya lebih dari US$5 miliar! Tantangan pertama untuk memangkas biaya sudah tertangani, sekarang yang harus dipikirkan oleh Fujifilm adalah bagaimana menciptakan aliran pendapatan baru.
Fujifilm terus melakukan inovasi, termasuk dengan deretan kamera Instax-nya yang kemudian ikut mengadopsi teknologi digital dan dipasarkan dengan merek Instax Pivi. Inovasi yang dilakukan oleh Fujifilm terbukti membuahkan hasil. Pada tahun 2004, saat mereka benar-benar tengah merasakan dampak pukulan kuat datangnya era digital, penjualan kamera Instax hanya mencapai 100.000 unit. Namun pada tahun 2016, deretan kamera Instax mencatatkan penjualan fenomenal di atas lima juta unit! Inovasi teranyar Fujifilm adalah formulasi monokrom pada kamera Instax di tahun 2016 serta lensa Fujinon untuk keperluan fotografi luar angkasa dan terlibat dalam eksplorasi ke bulan.
Namun jelas bahwa usaha inovasi di bidang fotografi saja tidak cukup untuk mengembalikan kejayaan Fujifilm. Budaya fotografi masyarakat telah berubah. Pejualan kamera Instax yang fenomenal pun terbukti tidak mampu menghasilkan pertumbuhan profit yang diinginkan. Shigetaka Komori, Chairman sekaligus CEO Fujifilm, menyadari bahwa revitalisasi perusahaan harus melibatkan modifikasi fundamental pada model bisnisnya. Dia pun menyiapkan rencana pertumbuhan yang revolusioner, yang melibatkan inovasi dan diversifikasi ke industri farmasi, perawatan kesehatan, dan kosmetik. Ketiga industri tersebut sepertinya sama sekali tidak terkait dengan industri fotografi. Namun, Komori yakin bahwa teknologi yang dimiliki Fujifilm punya potensi besar untuk diaplikasikan di luar industri fotografi.
Faktanya, berkat nyaris satu abad riset yang telah dilakukan, Fujifilm telah berhasil menghimpun sekitar 20.000 senyawa kimia. Semua senyawa tersebut awalnya dikembangkan untuk film foto, namun ternyata kini bisa dijadikan bahan baku bagi divisi farmasi mereka yang baru. Sementara di divisi kosmetik, Fujifilm memanfaatkan proses dan senyawa kimia yang awalnya digunakan untuk mencegah pudarnya warna pada foto. Proses dan senyawa kimia tersebut ternyata bisa diaplikasikan pada kulit manusia, guna mencegahnya kendur dan memudar. Dan saat ini, Fujifilm sedang mengembangkan obat-obatan untuk melawan kanker, penyakit-penyakit neurodegeneratif seperti Alzheimer, serta sejumlah penyakit menular.