Beberapa hari ini kita diperhadapkan dua tontonan dari anak-anak bangsa yang terjadi hampir dalam waktu bersamaan, dua peristiwa penting, dua bintang keluarga yang mengundang perhatian bangsa ini, kematian Angelina dan Pernikahan Gibran: mereka adalah bintang dari keluarganya masing-masing, keduanya mewakili dua peristiwa keluarga, bintang-bintang keluarga yang hidup satu atap, angelina mewakili tragedi menohok dari keluarga melarat sedang pernikahan gibran mengisyaratkan sempurnanya menjalankan tradisi budaya bagi keluarga mapan, inilah anomali keluarga besar sebab keduanya hidup dalam satu keluarga bernama Indonesia.
Sebagai bagian Keluarga,seluruh Bangsa ini bisa merasakan suka cita kebahagian Keluarga Gibran, tentunya juga merasakan duka pedih keluarga Angelin yang tewas di umur 8 tahun, kemiskinan keluarganya mengakibatkan Angelin tidak pernah dibelai dipeluk,di gendong oleh ibu,ayah apalagi kakeknya. Nahasnya hidup hingga matinya Angelin kategori bencana kemanusiaan, Angelin mewakili jutaan anak-anak bangsa yang tergorok oleh paham primitif pemerintah dan politik receh2, sehingga tidak boleh sebatas diintip sebagai issu Hukum normatif semata.
Parahnya, lagi- lagi bencana ini hanya dijadikan issu dagangan, moment cari duit lembaga-lembaga pemerintah dan pencitraan elit Parpol. Angelin merupakan histeria, korban sistem primitif; dimana Pemerintah hanya berpaham ekonomi vegetatif,mengakui hak warga Negara sebatas kebutuhan makan dan bereproduksi laiknya seekor kambing, Sistem Primitif kekuasaan: yang lemah diterkam oleh yang kuat, kelompok kaya memangsa kelompok melarat, kekuasaan jadi alat proteksi dan jalan tol bagi pemilik modal, kekuasaan menjadi pabrik pemiskinan ratusan juta keluarga dimana derita hidup dan matinya warga bagi pemerintah dan elit politisi malah ajang ngamen,garong dan berpesta pora.
Pemerintahan Primitif diantara Tradisi dan Tragedi
Sosok Angelina mewakili jutaan bintang keluarga yang tergadai sejak usia tiga hari, hingga tewasnya, di usia kanak-kanaknya akibat kemelaratan, dipelihara, diasuh orang tak dikenalnya akibat tergadai utang biaya Rumah Sakit, hidup dari belas kasih, dibunuh oleh pembunuhnya pun karena motif uang (gara2 miskin), yang lebih memilukan saat matinya supaya bisa dikubur dikampung halamannya orang tuanya harus menanti santunan para dermawan dan aksi pemerintah sebagai sinterklas.
Sedangkan pesta Gibran adalah representasi dari keluarga yang mapan, berkecukupan, diasuh oleh baby sister, sejak kecil, orang tuanya bebas memilihkan fasilitas terbaik, tempat bermain, cara belajar. Bisa memilih sekolah dan tempat kuliah terbaik bagi pembelajarannya baik didalam maupun diluar negeri, hingga jaminan modal orang tua agar terjun ke dunia bisnis, dapat menikah dengan cara bebas dan menu sesuai seleranya: malahan diundangannya tercantum: dilarang memberi sumbangan dalam bentuk apa pun, kebahagian dan suka citanya dapat dicicipi oleh seluruh bangsa ini.
Sementara Tragedi angelina merupakan potret hidup jutaan anak-anak bangsa, nasib nahas, tergadai akibat kemiskinan orang tuanya, anak yang lahir di Rumah sakit Bali, tepatnya di negara Indonesia. Orang tua yang tidak mampu tebus biaya persalinan angelina hanya berharap kedermawanan orang-orang kaya agar dapat keluar dari rumah sakit, angelina sebagai Bintang sebuah keluarga namun selama 8 tahun kelembutan sinarnya tidak pernah dikecup peluk oleh keluarga besarnya. Tragedi ini membuktikan betapa Mahalnya ongkos atau biaya hidup dalam kemiskinan, harus dibayar dengan rasa sakit panjang setiap hari, hingga kematiannya secara brutal.
Indonesia sebagai keluarga besar tidak hentinya-hentinya diserang oleh bencana kemanusiaan, akibat Kemiskinan Orang Tuanya, kakeknya atau keluarganya: telah mengorbankan angelina, sakitnya menjadi sakitnya sebagian besar bangsa ini, sebab keluarga Angelina adalah bagian dari keluarga besar bangsa Indonesia, isak tangisan perihnya kehilangan adalah kehilangan Bangsa ini. Sebagian kelompok dari bangsa ini menyikapi dengan cara dan tendesinya masing-masing.
Semarak Pernikahan Gibran sebagai bintang keluarga besar Jokowi adalah Pendopo menunjukkan kebijaksanaan, pilihan kesederhanaan, kuatnya rasa kekeluargaan dari mapannya ketahanan ekonomi, sementara kematian angelina harusnya jadi momen koreksi total atas sumber-sumber pemiskinan agar setiap keluarga di bangsa ini dapat mendampingi bintangnya sebagaimana keluarga besar Jokowi. Fakta menyakitkan dalam setiap bencana kemanusiaan yang melanda bangsa ini justru dimanfaatkan sesuai tradisi, budaya kepentingan politik, masing-masing pemegang kekuasaan: keluarga besar legislator, keluarga besar elit Parpol, keluarga besar keMenterian sosial, keluarga kementerian pemberdayaan perempuan, keluarga besar KPAI dan lain-lain yang reaksioner, sesuai seleranya, yang intinya Uang,Uang,Uang. pedulinya sesaat karna hanya kedok atau dibalut motivasi duit agar ditambah buat departemennya.
Fakta Angelina sebagai Bencana kemanusiaan bangsa ini disambut pesta politik pencitraan dan kunci membuka akses ke sumber-sumber recehan oleh Elit Parpol yang menyuarakan revisi UU Perlindungan anak agar masuk dalam prolegnas sehingga puluhan juta anggaran pembahasannya dapat mengalir lagi ke kantong anggota DPR yang juga hidupnya (dipastikan) penuh trauma kemiskinan atau mungkin lagi balas dendam sama kemiskinan, bukannya merevisi regulasi-regulasi yang terkait penghancuran kemanusiaan dan keluargaan; sistem penghasilan, Upah atau pun Gajih sebagai sumber pemiskinan yang melanda ratusan juta keluarga bangsa ini.
Tewasnya Angelina dibawah asuhan orang tua angkatnya hanya jadi pintu masuk bagi kementerian sosial untuk sosialisasi, perketat dan menerapkan peraturan adopsi, agar departemen sosial kebagian receh-receh, bisa memungut biaya pengurusan dari rangkaian panjangnya birokrasi proses adopsi, setali mata uang, kementerian perempuan juga ngomel2 minta anggaran untuk sosialisasi Undang-Undangnya; menyelam sambil minum susu seperti itulah tingkah primitif departemen- departemen terkait issu engelin, kehadirannya bagai lembaga penyantun mewakili pemerintah yang dermawan bagi warga negara yang terdera musibah.
Peristiwa maut Angelina seperti lagu dan judul baru komisioner Komisi perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dijadikan panggung untuk teriak-teriak, mengamen, minta dana dan anggarannya ditambah, kekurangan duit KPAI dianggap sebagai salah satu alasan lemahnya KPAI untuk mengawasi anak-anak setiap keluarga Indonesia, KPAI sebagai penjelmaan Pemerintahan Sinterklas yang beranggapan anak-anak sangat rentan menjadi korban kekerasan oleh Keluarga dekatnya memang ada benarnya; tapi kalau semua kelemahan KPAI bersumber dari Uang. Itu sama saja dengan isu utama Keluarga Angelina dan semua keluarga miskin di negeri ini: UANG.