Lihat ke Halaman Asli

Intip Dahsyatnya Mudik dan Haji Dalam intrik Penguasa

Diperbarui: 24 Juni 2015   09:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13756400861846436274

Hiruk pikuk mudik menjadi tradisitahunan yang mengisi penghujung ramadhan, kerinduan hangatnya kampung halaman, keluarga dan handai taulan seolah menjadi keharusan tak terelakkan. Fenomena mayarakat urban yangmenjadikan momentum Idul Fitri, secara sosialogis, tidak hanya merekat silturahmi tapi lebih mendalam menjawab kerinduan atas hangatnya dekapan peluk dan kecupan diatas punggung telapak tangan keluarga. Segala resiko mudik ditempuh, mulai berjejal diatas kapal laut, kereta Api, bus. Mahalnya biaya perjalanan tidak sebanding beratnya kerinduan para pemudik. Sehingga Rasionalitas mungkin tidak dapat menjelaskan mengapa semangat mudik dapat bertahan setiap tahunnya.

Romantisme kampung halaman saat idul fitri dan lebaran menjadi desakan terkuat dalam diri setiap pemudik, disana; dikampung halaman terdapat energi spiritual yang sangat dahsyat yang menjadi gravitasi magis bagi setiap urbanis yang berada diseantero negeri. Tidak ada kekuatan yang sanggup menahan keinginan untuk mudik dan berkumpul dengan romantisme dan spiritualitas momentum Idul fitri. Jika keinginan kuat atas panggilan romantisme kampung halaman saja begitu dahsyat, nah bagaimanakah kedahsyatan kuatnya kekuatan panggilan tuhan?? Adakah kemampuan manusia untuk menahan kerinduannya kepadaTanah Suci Mekah. Berkumpul di Padang Arafah dan bertemu dengan Ka’bah.

Mudik dan Ambiguitas Pemerintah atas sistem Daftar Haji

13756397401112374364

Jika karena dahsyatnya kerinduan Kampung halaman saja, para pemudik tidak lagi peduli dengan biaya, resiko hingga keselamatannya, nah bagaimana lagi kedahsyatan kerinduan untuk memenuhi panggilan Tuhan. Adakah orang yang rindu kampung halaman dapat menahannya, jawabannya tentu tidak. tidak lagi berpikir tentang rintangan dan keterbatasan atau pergulatan “nanti bagaimana”; apakah itu biaya, ongkos, antri, desak-desakan, macet puluhan jam di jalan yang merayap . Maka kerinduan pada ka’bah jauh lebih tidak rasional lagi. Adakah argumentasi yang dapat menjelaskan bahwa kerinduan dapat ditunda?

Membandingkan spirit Mudik dan spirit haji tentu akan sangat jauh secara kualitatif, panggilan romantisme dan kekuatan magis kampung halaman tidak sebanding dengan kekuatan eskatologis, daya tarik panggilan Tuhan tentu tidak sebanding dengan kuatnya romantisme kampung halaman. Lain halnya jika romantisme eskatologi disatu sisi bertemu dengan kesadaran religiusitas menyatu dalam hati dan pikiran seorang hamba datang secara tiba-tiba, adakan dia dapat dirasionalisasi untuk menahan diri menggapai kerinduannya??

Maka, asumsi-asumsi sistem antri bagi para perindu Tuhan membantah tradisi mudik yang menjadi parade  kedigdayaan tradisi bangsa ini. Jangankan untuk berhaji,sistem antri tidak dapat diterimaoleh siapa pun. Sistem antri dibuat agar pelayanan dapat maksimal, nyatanya para pemudik menjadi contoh, tidak pernah mempersoalkan terkait kelayakan perjalananya pulang kampung, naik motor ribuan kilometer pun jadi.Sistem antri haji dibuat agar ongkos haji makin murah, namun adakah pemudik yang batal pulang kampung karena mahalnya tiket pesawat dan kereta apai atau kapal laut?? Jawabannya tidak.

Jika pemudik lebaran saja tidak pernah lagi punya rasionalitas ekonomis, kenapa kementerian agama bisa menjadikan asumsi ekonomis sebagai alasan dibuatnya sistem untuk mereka yang ingin memenuhi kerinduannya pulang kampung ke tanah Suci, Mekah.

Sangat wajar jika Tuhan menjanjikan pada nabi Ibrahim ketika diperintahkan memanggil umat manusia untuk berhaji, Tuhan memastikan: berbondong-bondong manusia pasti akan datang, baik yang berkendaraan, sampai berjalan kaki dengan pakaian yang lusuh untuk menghadap dan menjawab panggilan tersebut. Pemandangan ini dapat juga kita saksikan pada fenomena mudik.

Maka membatasi keinginan orang mudik adalah mustahil, yang dapat dilakukan oleh pemerintah hanyalah menghimbau dan memfasilitasi agar tetap aman dalam perjalanan berdeak-desakan adalah pahit getirnya bukan halangannya.Begitu pula halnya dalam berhaji, kementerian agama akan sangat dzalim jika membuat asumsi ekonomis dan pelayanan sebagai alasan bagi para pencari Tuhan untuk menahan kerinduannya dan bersabar puluhan tahun,apalagi jika minimnya daya tampung mesjidil haram yang baru saja terjadi malah dijadikan alasanbagi sistem antri yang sudah dibuat sejak 2004, tentu semakin menguak motif kejahatan kementerian agama yang mengendus potensi ekonomis dari kantong para perindu.

fakta massifnya mudik yang sudah menjadi budaya menjadi alasan kenapa pendaftaran berhaji harus dilaksanakan menjelang musim haji tiba, sebagaimana mudik dilakukan masyarakat hanya menjelang lebaran, bukannya mudik menjelang bulan puasa datang. Sebaliknya, pemerintah Jangan malah perbaiki jalur mudik menjelang lebaran harusnya sebelum Ramadhan.Namun sayangnya, pemerintah selama masih punya alasan maka hilanglah rasa malu.

Akhirnya, Seperti itu juga penyelenggaraan Haji, logika kementerian Agama yang dibolak-balik hanya demi mengejar keuntungan ekonomis yang sangat besar seolah menjamin mereka untuk mencapai puncak kekuasaan, kekuatan para perindu untuk membasahi bibir dan hati dengan Doa dan bertalbiyah seraya membuktikan diri serta kerinduan pada Tuhannya harus berhadapan dengan determinasi kelicikan oknum kementerian Agama yang sangat terpesona menjadi penguasa puncak di negeri ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline