PENDIDIKAN sebagai wujud aspirasi masyarakat yang bersifat laten menggambarkan usaha dan upaya masyarakat dalam mengkonsolidasikan segenap potensi yang dimilikinya. Latency dalam pengertian pendidikan disini adalah hal melekat, yang secara dinamik mengikat serta mengarahkan masyarakat kepada pembangunan kebudayaan dan peradabannya. Dengan demikian, usaha serta tindakan nyata yang diaktualisasikan masyarakat berbentuk dinamika-dinamika merupakan effect atas konstruksi pendidikan itu sendiri.
Bersandar pada pemahaman bahwa masyarakat menyusun aspirasinya berwujud pendidikan maka perlu dipahami kalau pendidikan pada dasarnya tidak dibangun dalam satu kerangka tunggal tetapi beragam.
Keberagaman yang membangun pendidikan itu tidak lepas dari pertanggungjawaban atas pola dan system pengetahuan masyarakat. Maksud pertanggungjawaban pola dan system pengetahuan masyarakat disini ialah pendidikan dilegitimasikan oleh pengetahuan, dan pengetahuan disebar serta dikembangkan melalui pendidikan. Termasuk dalamnya batang tubuh pendidikan berupa pendidikan sebagai system, serta siasat operasionalisasi pendidikan berupa kurikulum.
Pendidikan dan Kurikulum
Berbicara tentang kurikulum dan pendidikan maka pemahaman awal yang muncul ialah tidak ada perbedaan mendasar, karena keduanya saling melengkapi bersama ranahnya yang tidak jauh berbeda. Pendidikan diidentikkan usaha sadar untuk membangun kualitas internal manusia berupa kepribadian dan potensi maksimal dari seseorang. Sedangkan kurikulum merupakan sisi material atas pelaksanaan konkret pendidikan berupa pelajaran dan pembelajaran. Kurikulum menjadi sarana operasional dari sistematika ide gagasan pendidikan sekaligus evaluasi serta memberikan format kebijakan untuk pendidikan. Hal ini yang menunjukkan kalau keberadaan pendidikan sebenarnya dipengaruhi kurikulum serta ditentukan oleh pelaksanaannya. Realitas ini yang umumnya dipahami bila bicara implementasi pendidikan dan kurikulum. Namun realitas relasional pendidikan dan kurikulum sebenarnya tidak mencerminkan tahap sesungguhnya pelaksanaan pendidikan itu sendiri, justru kebijakan-kebijakan tertentu yang disisipkan melalui kurikulum sebagai tahap sesungguhnya, yang mesti dicermati dan dikritisi.
Kenyataan pendidikan sebagai landasan dalam menciptakan kepribadian seseorang sehingga selaras dengan tujuan yang diharapkan yaitu Sumber Daya Manusia, seolah-olah representatif oleh sekian kebijakan-kebijakan tertentu yang disisipkan dalam kurikulum, padahal tidak! karena realitas penyusunan kualitas SDM juga ditentukan oleh tahap perkembangan kebudayaan masyarakatnya. Entitas (keadaan) kebutuhan bukan hanya produk konstruksi, melainkan tingkat capaian kognitif dari suatu masyarakat. Handphone misalnya akan menjadi alat efektif bila masyarakatnya telah berkesadaran komunikasi tinggi, rasional dan individualis dibandingkan masyarakat berkesadaran naif kolektif dan mekanis, produk teknologi handphone bisa jadi tidak untuk berkomunikasi saja tapi sarat beban, yakni beban gengsi, citra, harga diri, identitas, dsb.
Hal-hal seperti ini yang sebenarnya memainkan peran dalam penyusunan dan pembentukan realitas masyarakat kalau perkembangan kebudayaan masyarakat tidak selalu akan berkorelasi dengan muatan-muatan tertentu dalam kurikulum yang notabene merupakan wajah sesungguhnya penerapan pendidikan. Pendidikan yang aslinya adalah pengejawantahan nilai-nilai dasar kebudayaan diarahkan menjadi sesuai dengan tujuan dari kepentingan-kepentingan tertentu dalam kurikulum.
Kurikulum sebagai alat operasionalisasi pendidikan kepada kebudayaan serta-merta didalamnya memuat realitas tersendiri yang sesungguhnya berjarak dengan sejarah perkembangan masyarakat maupun dinamika peradaban. Di satu sisi kurikulum adalah consensus yang dipraktekkan didalam membangun dan mengubah masyarakat secara genetis (ranah pendidikan), di sisi lain kurikulum menjadi alat kontrol didalam mendisiplinkan pola dan system kognitif masyarakat untuk memuluskan tercapainya kepentingan dan tujuan tertentu (ranah social). Dengan demikian pendidikan dan kurikulum tidak lebih sebagai strategi tertentu dimana praktek-praktek tindakan yang diambil tidak jauh dari proses sirkulasi dominasi maupun subordinasi.
Dengan demikian tak bisa dielakkan kalau hubungan-hubungan antara sejarah perkembangan kebudayaan masyarakat, kurikulum serta pendidikan menjadi jaringan-jaringan tersendiri yang sesungguhnya mewujudkan suatu pemetaan atas arena-arena kuasa yang saling berinteraksi dan berelasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H