Lihat ke Halaman Asli

Saat Bernalar dan Berpikir Berteman Sesat

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

“Berpikir dan bernalar itu penuh resiko, apalagi tidak berpikir dan bernalar lebih beresiko lagi!!”

PENGERTIAN yang didasari kesepakatan mengandung tiga pemahaman ketika ditempatkan dalam cara pandang pendidikan. Pertama, adanya titik temu sekian pengertian-pengertian yang ditawarkan kepada satu rumusan yang mewakili pengertian-pengertian tersebut. Kedua, satu rumusan yang menjembatani pengertian-pengertian tersebut tidak lain gambaran atas logika koherensi dalam tatacara berpikir logis yang benar. Ketiga, tatacara berpikir logis yang benar adalah konstruksi berupa pola-pola serta cara didikan yang dilakukan secara benar pula. Ketiga hal tadi merupakan kerangka dari struktur bangunan kognitif seseorang sebagai output hasil didikan. Mungkin bagi sebagian orang apa yang diuraikan ini sangat membingungkan, dan bisa saja uraian ini dikatakan menggunakan bahasa imajinatif yang sangat abstraktif padahal uraian ini merupakan satu babak konklusi atas hasil bahasa pengetahuan yang biasa digunakan pada umumnya.

Tulisan ini akan mencoba memaparkan bahwa apa yang dipahami sebagai suatu keputusan dalam keseharian kita yang dianggap benar, sebetulnya menunjukkan kesesatan dari berpikir itu sendiri. Sesat berpikir menjadi satu model berpikir yang sebenarnya tidak benar tapi karena dianggap tidak menimbulkan masalah atau tidak dipermasalahkan, berpikir yang tidak benar itu menjadi “benar”. Akhirnya pernyataan-pernyataan yang muncul akan mempertanyakan benar dan tidak benar, mempertanyakan hal-hal yang menyusun atas identitas benar sehingga yang berada di luar hal-hal yang menyusun benar itu menjadi “tidak benar”. Alur dari proses logika yang membagi atas susunan yang benar dan menyatakan diluar susunan itu tidak benar disebut alur berpikir logocentris. Pola logocentris inilah yang menjadi sumber atas sumber kognitif yang membentuk, menyusun, dan menciptakan alur berpikir itu sendiri. Pada umumnya secara definitive berpikir itu disebut sebagai kerja otak, dimana otak merangkai sekian informasi-informasi yang didapatkan melalui kode-kode tertentu membentuk arti-arti tertentu. Arti-arti tertentu ini adalah konsep-konsep yang dihasilkan dari stimulus dan respon. Aktualisasi stimulus dan respon ini disusun oleh dua kerja afektif yaitu belajar dan naluriah.

Para pakar sejak dahulu telah percaya kalau aktivitas manusia, yang pada akhirnya memunculkan masyarakat dan kebudayaan dibimbing oleh dua kerja afektif ini yaitu naluriah dan belajar berupa stimulus dan respon. Kerja afektif naluriah mengarahkan manusia sebagai makhluk yang berprilaku (behavior). Dinamika prilaku manusia kemudian menentukan apa yang disebut kebutuhan dasar manusia yaitu emosional (marah, sedih, benci, nyaman), fisiologis (makan, minum, tidur), reproduksi (seks dan beranak-pinak), dan teritori (wilayah hidup).  Kebutuhan-kebutuhan dasar ini lalu terakumulasi membentuk yang disebut hasrat (teologi agama mendefinisikan hasrat sama dengan nafsu/nafsi, lengkapnya hawa nafsu. Hawa menunjuk pada dorongan/kondisi/suasana yang menggerakkan). Pada wilayah hasrat, aktualitas atas dinamika kerja naluriah menyusun satu kehendak kepada pengakuan dan penguasaan, hingga melahirkan kemampuan--sama dimiliki binatang--pemuasan dan penundukkan.

Berbeda dengan pengertian kerja naluriah, pengertian kerja belajar telah memposisikan manusia sebagai makhluk yang bertindak (action) yaitu makhluk yang sepenuhnya tidak tunduk pada hukum-hukum alam (Quraish Shihab menterjemahkan hukum-hukum alam sebagai hukum-hukum Tuhan). Dalam aktivitas afektif belajar keberadaan berpikir manusia dituntun untuk mengetahui dan mengenali segala sesuatu yang ada disekitarnya. Belajar menjadi usaha manusia untuk memberi jawaban atas beragam fenomena yang mengitari kehidupannya. Dalam hal ini manusia memiliki kapasitas untuk menjaga jarak terhadap segala sesuatu yang belum dikenalnya untuk diketahui dan dipelajari. Melalui kerja belajar, proses aktivitas otak manusia mengalami peningkatan menjadi penalaran sehingga melalui penalaran, manusia menjadi makhluk yang jauh berbeda dengan binatang. Alur proses berpikir manusia ini yaitu dari kerja afektif naluriah menjadi kerja afektif belajar membentuk dan menyusun manusia dalam satu wadah yang disebut kepribadian. Melalui kepribadian inilah manusia mengakumulasi (mengumpulkan dan memusatkan) system kognitifnya dengan mempertemukan antara sisi naluriah kebinatangannya dengan sisi penalaran sebagai hasil belajar manusia itu sendiri. Didalamnya mengandung watak, karakter, sifat, mental sebagai unsur-unsur dasar penyusun kepribadian; dan pengetahuan, agama, adat-istiadat, norma-etika sebagai unsur-unsur dasar pembentuk kepribadian. William Dilthey mempertajam penyusunan penalaran--kepribadian ini dalam tiga ranah afektif yaitu erlebnis, audstruck, dan verstehence. Erlebnis adalah konsep Dilthey untuk menyebut proses berpikir sebagai suatu tahap penyusunan/perumusan konsep-konsep atas seluruh aktivitas kehidupan manusia yang lalu dinilai, dievaluasi, dipelajari dan menjadi panduan manusia dalam aktivitasnya, menghasilkan bukti-bukti empiris yang disebut pengalaman. Aktualitas pengalaman yang didapatkan ini lalu diendapkan menjadi memori kolektif sebagai unsur basic membentuk kepribadian seseorang disebut audstruck. Struktur akumulasi audstruck sebagai produk berpikir yang inherent dalam penyusunan kepribadian ini lalu digunakan untuk menilai, memahami “the others” (yang lain) disebut verstehence. Sehingga alur atas relasi trilogika Dilthey ini memunculkan bahasa sebagai penyambung komunikasi manusia bahwa manusia selain sebagai pribadi yang berkehendak atas dirinya sendiri terhadap hukum-hukum alam, manusia juga merupakan makhluk yang tidak sendirian hidup di dunia ini.

Dalam kehidupan sehari-hari aktualitas atas perwujudan kepribadian ini akan sangat tampak dari prilaku maupun tindakan yang dilakukan baik oleh perseorangan maupun kolektif, baik melalui perkataan, perbuatan, ataupun ide gagasan yang dikemukakan. Dengan prilaku atau tindakan yang dilakukan maka akan dapat dipelajari bahwa dinamika berpikir dan sekian pengalaman empiris yang dituntun oleh aspek naluriah maupun belajar manusia dapat mencerminkan kualitas besar kecilnya aspek itu sendiri mempengaruhi atau berkuasa atas dinamika perseorangan maupun kolektif.

Dimuka telah ditunjukkan bahwa penalaran merupakan konstruksi atas kerja belajar manusia dalam memahami segala sesuatu yang ada disekitarnya. Kerja belajar menjadi entitas dalam diri manusia yang mengimbangi kerja naluriah yang identik dengan pemuasan diri dan penundukkan massif sebagai hasil dorongan hasrat dalam diri manusia itu sendiri. Tidak bisa tidak secara utuh manusia melepaskankan diri dari kuasa hasrat yang senantiasa menuntut untuk dipuaskan. Karena itu tidak bisa pula manusia meninggalkan kerja belajarnya karena bila itu ditinggalkan, manusia tidak lebih seperti bintang besar dengan kemampuan otak yang sederajat dengan otak binatang itu sendiri. Melalui penalaran seperti dikatakan Ausebel (dalam Abimanyu, 1987:90) manusia merangkaikan konsep-konsep lama dengan konsep-konsep baru, mengimbangi konsep-konsep beraspek naluriah dengan konsep-konsep sebagai hasil belajar manusia berwujud konteks-konteks entitas berupa perbuatan menjadi kegiatan-kegiatan/aktivitas dan dinamika; perkataan menjadi wacana-wacana; dan ide gagasan menjadi konsep—teori atau system kepercayaan sebagai cikal bakal agama/religi dan pengetahuan sebagai cikal bakal science.

Konteks-konteks entitas inilah yang akan dijadikan alur tulisan ini bahwa tidak sepenuhnya pula hasil kerja belajar dapat dikatakan memenuhi persyaratan benar bila apa yang dipahami sebagai suatu keputusan dalam keseharian yang dianggap benar, sebetulnya menunjukkan kesesatan dari berpikir itu sendiri. Sesat berpikir menjadi satu model berpikir yang sebenarnya tidak benar tapi karena dianggap tidak menimbulkan masalah atau tidak dipermasalahkan, berpikir yang tidak benar itu menjadi “benar”. Untuk itu penjabaran berikut ini akan menelusuri beberapa formasi penalaran yang didalamnya berpeluang terjadi kesesatan dalam berpikir itu sendiri. Diantara formasi penalaran itu adalah :

1)   Penalaran Proporsional

Bentuk penalaran ini yang sering muncul dalam keseharian kita bersama berbagai bentuk dan wujudnya berupa pernyataan atau pendapat yang tak lain cermin dari logika penalaran ini. Penalaran proporsional didefinisikan sebagai suatu struktur kualitatif yang memungkinkan pemahaman sistem-sistem logis kompleks yang mengandung banyak factor sesuai proporsinya, contoh orang makan karena lapar namun makan dilakukan tidak selalu dalam kondisi lapar, atau mencapai tujuan dalam aktivitas belajar merupakan ketentuan wajar meskipun tujuan yang diperoleh tidak sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Dari penalaran proporsional ini banyak hal yang menunjukkan kualitas proporsionalnya tapi faktanya justru tidak proporsional, contoh sering dinyatakan sebagai pendapat/opini dikalangan mahasiswa, yaitu menjadi mahasiswa identik dengan pengembangan pengetahuan dan pengolahan diri untuk menjadi dewasa tapi banyak mahasiswa justru tidak selalu mengerti atau paham dengan pengetahuan yang mesti dikembangkannya dan tidak sedikit mahasiswa yang masih berkepribadian anak-anak. Menjadi mahasiswa malah dekat dengan aktivitas gaya hidup dan model berpikir yang kadangkala jauh dari kewajiban berpikir seorang mahasiswa. Penalaran terakhir ini yang malah berkembang kuat menjadi penalaran yang sewajarnya padahal jelas tidak wajar alias sesat secara penalaran proporsional. Atau menjalankan suatu kegiatan tertentu semestinya dapat memahami makna dari kegiatan tersebut karena ada proses pembelajaran didalamnya sehingga saat melaksanakan kegiatan serupa dikemudian hari akan diperoleh hasil kegiatan yang makin berkualitas, tapi realitasnya justru bukan pemaknaan atau pembelajaran atas kegiatan yang dilakukan melainkan aktivitas-aktivitas praktis dengan banyak membuang waktu untuk berdebat soal-soal teknis ketimbang perkara strategis yang akan dicapai dari kegiatan tersebut. Penalaran-penalaran seperti ini yang berkembang kuat padahal penalaran ini jelas tidak wajar alias sesat secara penalaran proporsional. Dan masih banyak contoh-contoh lain dalam kehidupan sekitar kita yang menggambarkan kesesatan berpikir dari penalaran proporsional, diantaranya “teori tidak sama dengan prakteknya”, “teori lebih mudah dari praktek atau mempraktekkan teori tidak semudah teorinya”, “Laki-laki mesti superior dari perempuan”, “Naik gratis turun bayar”, “Mencintai lebih baik daripada dicintai atau dicintai tidak lebih buruk daripada mencintai”, dan masih banyak lagi.

2)   Penalaran Probabilistic

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline