Lihat ke Halaman Asli

Bulan Duka Bencana

Diperbarui: 26 Juni 2015   10:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Al-Husain dan rombongan keluarganya bergerak melintasi gerbang kota suci Mekkah. Perlahan-lahan menara Masjid Al-Haram terlihat kian kecil dan akhirnya lenyap.

Dusun demi dusun telah disinggahi. Kota demi kota pun dilalui. Kini samudera fatamorgana menganga lebar terhampar di hadapan mereka. Kafilah syahadah berarak menjejakkan kaki merajut sahara. Irama syahadah mengalun lirih iringi derak sekedup wanita-wanita Ahlul-Bait.

Dewi-dewi berbusana serba hitam tampil memperagakan busana Duka Bencana!

Di tengah perjalanan, Al-Husain menyuruh rombongan yang terdiri dari keluarga dan para pengikutnya yang setia itu berhenti untuk melepas letih. Di situ Al-Husain berpidato: “Amma ba’du. Jalan terjal dan bukit-bukit pasir telah kita lalui, demi seteguk kebenaran dan sekerat keadilan. Kini, setelah mendengar berita tentang kematian Hani dan Muslim, aku tawarkan kepada kalian semua dua pilihan, yaitu tetap menyertaiku atau meninggalkanku melanjutkan perjalanan. Ketahuilah, aku tidak akan pernah menyalahkan kalian bila kalian memilih berpisah dariku. Namun aku juga menerima, bila kalian tetap bersamaku, megarungi perjalanan istimewa ini.”

Al-Husain tak kuasa membendung air hangat kesedihan tatkala satu per satu dari barisan pengikutnya mulai memisahkan diri. Kini cucunda Rasul termulia itu hanya dikelilingi oleh para wanita, anak-anak, sepasang suami isteri budak, beberapa lelaki tak dikenal. Al-Husain mengajak sisa rombongannya melanjutkan perjalanan lalu berhenti di dusun Ats-Tsa'labiyah.  Dari arah utara lamat-lamat terdengar derap kawanan kaki kuda berlarian mendekati mereka. Pasukan berkuda berjumlah besar menyeruak dari balik bukit. "Siapakah anda? Dan mengapa anda datang dengan membawa pasukan yang banyak?" tanya salah seorang peserta rombongan Al-Husain. "Namaku Al-Hur bin Yazid Ar-Riyahi. Kami ditugaskan oleh Ubaidillah bin Ziyad, Gubernur Kufah, untuk mengawal kafilah anda menuju Kufah," jawabnya sopan.

Esok hari, tatkala rombongan Al-Husain dan pasukan Al-Hur bersiap untuk melanjutkan perjalanan, dari arah Kufah seorang penunggang kuda datang lalu menyerahkan surat kepada Al-Hur. Isi surat berbunyi:

"Dari Ubaidillah bin Ziyad untuk Al-Hur bin Yazid. Sesampainya surat ini ke tanganmu, desaklah Al-Husain dan kafilahnya menuju Kufah. Aku sengaja memerintahkan pembawa surat ini untuk tetap bersamamu guna memastikan perintah ini dilaksanakan."

Telapak kaki Al-Husain dan karavannya kembali memahat padang pasir dan menangkal sinar surya, melintasi dusun demi dusun. Tiba-tiba kuda Al-Husain berhenti, enggan bergerak. Al-Husain berusaha memacunya, namun tak juga bergeming. Setelah gagal mencoba beberapa kuda lain, Al-Husain menyapu dusun itu dengan tatapan penuh makna. "Apa nama dusun ini?" tanyanya memecah kesunyian.

"Al-Ghadhiriyah," sahut beberapa pengikutnya."Adakah nama lain untuk dusun ini?," tanya Al-Husain seakan tak percaya. "Syathi'ul Furat," sahut mereka. "Adakah nama lain?"  "Nainawa,"  "Adakah nama lain?" "Karb (Duka) dan Bala (Bencana) Karbala.." jawab mereka serentak. Al-Husain menarik nafasnya dalam-dalam lalu berkata dengan nada tinggi: "Inilah Karb dan Bala…Di bumi tandus inilah tangisan gadis-gadis Ali akan terdengar! Di dusun inilah yatim-yatim Muhammad akan dianiaya!! Di sinilah wanita-wanita Ahlul-Bait akan dikejar-kejar!! Di sinilah aku dan para pengikutku dicincang dan dibantai Di sinilah aku akan dikunjungi!!

Sambil melompat dari atas punggung kudanya, al-Husain bersyair:

Hai zaman! Celaka kau!

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline