Lihat ke Halaman Asli

Puisi | Setai?

Diperbarui: 22 Januari 2018   17:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

                                                                             

Mungkin aku yang gagap mengeja kasihmu. Tertatih menyusuri lorong-lorong hatimu. Memprasangkan sebuah kemungkinan.

Atau mungkin aku yang bengis? Egois? Menginginkan matahari memeluk bulan padahal tak mungkin bulan bisa didekap meski sekejap.
Aku tak pernah meragukanmu, namun meragui diriku sendiri. Merindumu dalam penantian menerjuni kolam hitam mencari adakah penghuni selainku. Yang kutemukan serupa bayangan, sayangnya aku tak siap kenyataan hitamnya bayangan, yang kalah kelam dibanding kolam yang kuterjuni mencari dasar tanpa tepi. Kenyataan menghadirkan berjuta penghisap darah yang dengan suka cita kau datangkan menemani sepimu karena jarak yang tak bisa kulipat mendekatimu

Aku mencintai dengan cara yang sederhana dan rapuh, jauh dari sepadan untuk kemegahan seorang penguasa dalam buanamu yang gemerlap.
Melupakan bahwa petir tak pernah ada saat rembulan sendu muncul malu malu.
Bahwa pelabuhan hanyalah susuran saat lautan mengganas menyisakan puing puing amukan dalam gelegar kemurkaan.
Aku mengasihimu namun tak bisa berdesakan dalam wadah yang pengap. Rinduku sepi tak bisa merasai keramaian memalsukan kesendirian.
Genggamanku melemah tatkala kebisingan menyergap menerjang.

Urusanku setia kan Bang? Atau se tai? Entahlah tak bisa kujawab.
Meski dalam kegetiran kepedihan yang usai sudah tertangisi dalam senyum dikulum.

Namun setia tak mesti menyusuri pelangi bersama kan?
Aku terengah mengejar yang tak mau berhenti. Terkapar sekarat pada perang yang tak ingin diperjuangkan. Aku tak ingin berlalu, sungguh aku tak ingin, namun peperangan tanpa perjuangan bisakah diteruskan? Lantas apa yang kuperjuangkan? Yang kuuntai dalam doa doa sepi? Yang kurajut dalam mimpi?

Maafkan aku yang terlalu lemah dan cepat menyerahkan pundakmu. Membiarkan jantungmu menjadi santapan bagi perempuan perempuan yang berteriak menyebut nama Tuhannya namun haus darah kelukaan.

Mungkin sekarang waktunya?
Aku mempercayaimu, namun mengkhianati diriku. Tak memungkiri keniscayaan kebersamaan meski terasa absurd dalam kenyataan.
Aku tahu berat beban yang kau sandang, tapi tak ingin kau bagikan. Berkelana dalam keramaian namun kesepian dan menolak genggaman kehangatan kesederhanaan.

Termangu aku menatap punggung yang begitu kokoh dan gagah menantang angin, dalam derau badai kesakitan.
Ingin kuletakkan kepalaku di sana, kubisikkan padamu seuntai ujaran isi hatiku yang tak memiliki arti apapun bagimu, namun yakinilah, aku setia padamu meski tak bisa menemani dalam gemebyar pesta mewahmu Bang.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline