Lihat ke Halaman Asli

Marah (1)

Diperbarui: 1 September 2016   00:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Kugerakkan cepat pisauku mencincang sayuran diatas talenan. Sembarang sayur yang asal kuambil dari dalam kulkas. Tidak untuk dimasak. Bunyi pisau beradu dengan talenan terdengar berirama. Perlahan airmataku meluncur berhamburan di atas cincangan sayur.

Tanpa suara, aliran itu semakin deras. Ku usap dengan punggung tangan, kubuang ingus dengan tissue yang kuambil dari atas meja makan. Tanganku tak berhenti mencincang. Awalnya pelan, dan kemudian meningkat, seiring kecepatan tanganku menggerakkan pisau. Aku mengingat setiap kata pertengkaran kami.

“Kau membohongiku Bang,”desisku dengan tangan terkepal dan mata menyala.

“Aku bohong apa lagi Neng.” Putus asa suara Abang berupaya meredakan marahku.

“Kau tidak cerita kau boncengan dengan mantanmu. Kalian bahkan duduk berdua. Berdampingan.” Suaraku meningkat dari desis menjadi geraman.

“Neng, kalau kau tak suka Abang pergi, kenapa tak bilang.” Masih dengan nada rendah

“Lantas, kalau aku bilang tidak, apa Abang akan membatalkan rencana abang untuk pergi? Tidak kan? Makanya aku tak melarang. Aku tak mau bilang tidak. Karena Abang tak akan menuruti permintaanku. Aku tak pernah ada dalam prioritas Abang. Perasaanku tak pernah menjadi pertimbangan Abang saat Abang memutuskan sesuatu. Tak pernah!” Luncuran kata kata dengan kecepatan sekian mil perdetik keluar dari mulutku tanpa bisa kucegah. Airmataku sudah mengalir. Kepalan tanganku semakin kencang. Kuku jariku menghunjam telapak tangan. Dan aku tak peduli. Sakitnya tak seberapa di banding hatiku.

Abang terdiam. Raut wajahnya memerah, pandangannya tak lagi seteduh tadi. Tak ada lagi upaya meredam marahku. Tak ada upaya merayuku untuk mendinginkan panas hatiku. Sorotnya berubah sinis.

“Memang, “jawabnya dingin,”Aku tak akan membatalkan rencana pergi dengan kawanku hanya karena kamu tak suka aku memboncengkan Miranda. Dia memang mantan, dan sekarang kami berkawan. Kalau kau keberatan itu urusanmu. “Kasar, Abang berdiri dari kursinya meraih jaket dan kunci motor, “Aku pulang ke rumah Mama.“

Mendengus kesal, kuhapus airmataku, menuju kasir dan membayar makanan yang tak tersentuh sama sekali. Pertengkaran menghapus total selera makan kami. Kucegat taksi untuk mengantarkanku pulang. Ke apartemen kami.

Ya, kami memang sudah menikah, meski belum resmi. Di bawah tangan, sirri, kata orang. Kesepakatan kami dan orang tua. Karena kami belum selesai sekolah. Kami menunda memiliki anak, sampai ikatan kami resmi diakui negara. Orang tua kami sepakat menanggung biaya sekolah masing-masing, dan biaya hidup masing-masing.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline