Lihat ke Halaman Asli

Arabisasi Islam dan Legitimasi Politik

Diperbarui: 26 Juni 2015   12:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio


Belakangan ini terdapat fenomena baru dan populis dimana umat Islam Indonesia tengah menggandrungi Arabisasi dalam kehidupan sehari-hari yang mengarah pada suatu bentuk perubahan dan pergeseran pola keber-islaman. Bagi kalangan fenomenologis, realitas sosial semacam ini bisa dikatakan sebagai bagian dari eksoterisme Islam, yaitu perilaku simbolistik; bagaimana menerjemahkan agama ke dalam simbol-simbol agama itu sendiri, dan ‘naasnya’ selama ini pemahaman terhadap Islam dan Arab menjadi suatu yang tidak dapat dipisahkan, dengan kata lain identitas ke-Islaman seseorang dinilai ‘mumpuni’ jika akrab dengan Arab, baik itu budaya, bahasa, dan pakaiannya.

Islam dan Arab, secara historis keduanya sangat berdekatan, terlebih dalam proses Islamisasi. Namun jika ditarik ke dalam istilah Arabisasi, antara keduanya–Islamisasi dan Arabisasi–mempunyai kesamaan dalam format pada sebuah proses yang mengandalkan semangat internalisasi nilai-nilai sebagai kekuatan dalam memberikan warna terhadap realita baru yang berkembang di masyarakat. Karena Islam sebagai agama yang dibawa oleh Muhammad saw. pertama kali turun di tanah Arab, dengan memakai bahasa Arab sebagai bahasa pengantarnya. Semua aturan dan norma Islam disampaikan dengan bahasa Arab, sebagai bahasa al-Qur’an dan al-Sunnah. Implikasi dari pemahaman ini mengharuskan bagi semua pihak yang ingin memahami Islam wajib paham dan mengerti tentang bahasa Arab.

Sedang yang membedakan antara Islamisasi dan Arabisasi terdapat pada substansi yang dikandungnya. Islamisasi sebagai suatu proses internalisasi dari nilai-nilai Islam pada temuan-temuan baru yang belum ada semangat keislamannya memberikan mandat agar memasukan ajaran Islam di dalamnya atau menyesuaikannya dengan nilai-nilai ajaran Islam. Dalam hal ini, semua temuan baru, baik di bidang ekonomi, sosial dan ilmu pengetahuan, harus tunduk dengan aturan Islam. Islam sebagai agama ditempatkan pada posisi yang tinggi memandu umat manusia menjalankan kehidupannya di dunia.

Adapun Arabisasi tidak lain dari sekedar budaya yang berkembang di tanah Arab, baik melingkupi aspek bahasa maupun ilmu pengetahuan, yang suatu ketika dapat dijadikan acuan oleh pihak lain dalam mengambil i'tibar untuk diterapkan kembali pada kondisi yang berbeda. Pada posisi seperti ini, menyamakan antara Islamisasi sebagai proses internalisasi nilai-nilai suatu agama dengan Arabisasi yang hanya mengakar pada budaya adalah sebuah tindakan yang tidak dapat diterima bahkan merupakan bentuk perbandingan yang tidak berimbang. Karena meskipun sebuah realita bahwa Islam diturunkan di tanah Arab dengan memakai bahasa Arab, tetapi tidak berarti budaya lokal masyarakat Arab sesuai dengan nilai-nilai Islam.

Di sisi lain, banyak intelektual yang mengaitkan fenomena Arabisasi dalam kehidupan umat Islam Indonesia adalah karena proses geopolitik dimana fase radikalisasi keagamaan tengah terjadi di Indonesia. Andrée Feillard dan Rémy Madinier dalam La Fin de l'Innocence menelaah hal menarik. Menurut mereka, dua hal yang gampang dibaca dari fenomena Islam radikal sejak akhir Orde Baru hingga sekarang ialah penyederhanaan ideologis dan manipulasi politik yang kemudian berkembang menjadi Islam politik dengan pengkaderan yang terorganisasi yang bertumbuh melalui pengajaran praktis doktrin negara-agama (seperti bentuk kekhalifahan) Sekaligus bisa memanfaatkan wahana kekuasaan untuk merebut pengaruh. Globalisasi dimanfaatkan betul untuk menyebarkan benih-benih kekerasan secara lintas-batas. Kalangan muslim radikal sering kali membenarkan gagasan ‘benturan antarperadaban’ yang ditelan mentah-mentah dan lalu membangun cara pembelaan diri dengan mempertebal identitas agama dengan sebagai bargain politik, dengan kata lain menajamkan istilah-istilah ke-Araban di tengah-tengah komunitas eksklusif mereka.

Sedangkan menurut Nikolaos van Dam, seorang Indonesianis, menilai bahwa kata-kata bahasa Arab yang pada akhirnya diserap ke dalam bahasa Indonesia terjadi akibat proses dialektika masyarakat lokal dengan kaum pendatang berkebangsaan Arab, dan umumnya terjadi di tengah masyarakat pedagang atau lembaga-lembaga pendidikan Islam semisal pesantren. Perbedaannya adalah pada pemaknaan yang berubah, sebagaimana dikatakan Ricoeur bahwa pemahaman pengucapan sebagai suatu peristiwa adalah inti transisi dari suatu linguistik tanda kepada linguistik pesan, berarti telah terjadi pergeseran makna ucapan yang menimbulkan multi interpretasi. Hal ini dikarenakan para pendatang yang biasanya berdagang di beberapa daerah Nusantara menggunakan bahasa kolokial (sehari-hari) yang telah terlepas dari akar katanya dalam bahasa Arab klasik.

Nikolas Van Dam mengutip Kees Versteegh yang mengemukakan kebanyakan kata serapan itu bersumber dari bahasa Mesir dan Saudi, dimana aksara yang berfonem ‘j’ diucapkan sebagai ‘g’ seperti dalam logat mesir, ‘gamal’ untuk ‘unta’ (Arab = Jamal, Mesir = Gamal), dan kata-kata dengan pelafalan ‘G’ untuk ‘Q’ dalam logat orang-orang Saudi seperti dalam ‘gamis’ untuk ‘kemeja’ (Arab = Qamis). Dan ketika terjadi suatu peristiwa yaitu proses jual-beli, semisal si Arab berkata Gamis yang sebenarnya dimaksudkan adalah pakaian secara umum, tetapi masyarakat lokal setempat lantas mengasumsikan bahwa Gamis adalah sebutan untuk pakaian khas budaya Arab yang berukuran panjang menutupi seluruh tubuh.

Sedangkan untuk kalangan kedua yang bertempatan dalam lembaga pendidikan semacam pesantren, lebih menekankan pada penguasaan bahasa Arab secara gramatikal. Selain itu mereka juga berinteraksi dengan ulama-ulama yang datang dari Timur Tengah dan mempelajari kitab-kitab berbahasa Arab klasik, bukan bahasa kolokial sebagaimana yang digunakan kaum pedagang. Namun baik keduanya, apakah melalui jalur perdagangan maupun pendidikan, penyebaran Islam di Indonesia pun tidak lepas dari penggunaan bahasa Arab yang digunakan, sehingga dengan demikian sangat mempengaruhi mindset penduduk lokal bahwasannya bahasa memuat ideologi atau agama tertentu, dalam hal ini Arab sangat inheren dengan Islam.

Struktur sosial masyarakat Indonesia yang paternalistik telah menguntungkan kelompok ini karena mereka dianggap sebagai kelompok elit yang menjadi panutan masyarakat. Darah Arab yang ada pada kelompok komunitas tertentu menjadikan mereka mempunyai legitimasi yang kuat dan otoritas yang tinggi untuk menjadi pemimpin agama. Selain itu secara akademik mereka juga memiliki legitimasi yang cukup kuat karena pada umumnya mereka adalah lulusan sekolah Timur Tengah dan menguasai bahasa Arab secara baik.

Lain halnya dengan Fazlur Rahman, ia menegaskan bahwa ilmu itu pada dasarnya baik, demikian halnya dengan bahasa, dan yang membuat tidak obyektif adalah penyalahgunaannya. Dalam hal ini, dapat dipahami bahwa bahasa adalah fasilitas apresiasi realitas, sementara akal merupakan motor penggerak segala aktivitas manusia, termasuk kompetensi manusia dalam menggunakan bahasa sebagai alat apresiasi. Akan tetapi fenomena Arabisasi pada beberapa komunitas keislaman di Indonesia tidak bisa serta merta diartikan sebagai bentuk penyalahgunaan. Sebab jika diartikan demikian, kita tak dapat menggeneralisir telah terjadi kesalahan berpikir sebagaimana yang dikatakan Dardjowidjojo dalam bukunya Bahasa Sebagai Cermin Pola Pikir, bahwa logika atau nalar tidak ada dalam bahasa, logika terletak pada si pemakai bahasa.

Dalam konteks budaya, penulis sependapat dengan beberapa pakar linguistik yang mengatakan bahwa bahasa adalah hasil produk dari suatu budaya, dan kata-kata yang terdapat di dalamnya terdiri dari simbol-simbol yang melambangkan kondisi dan realitas dari suatu komunitas masyarakat. Sehingga dalam berkomunikasi, simbol-simbol tersebut beralihfungsi menjadi makna. Maka dengan demikian, akan terciptalah komunikasi paralel antara beberapa komunikator yang memberikan pemaknaan terhadap simbol-simbol tersebut dalam bentuk makna yang sempurna. Oleh karena itu, maka setiap kata dalam suatu bahasa dapat bersifat emosional dan tidak pernah netral. Maksudnya, setiap sikap, putusan, dan perasaan kita selalu terdapat dalam bahasa yang kita gunakan. Bahasa disamping sebagai sebuah simbol, juga merupakan alat komunikasi serta sebagai akulturasi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline