Seberapa efektifkah cara kita berkomunikasi? Barangkali itu merupakan judul yang tepat dari tulisan ini, sebagai respons dari Barbara J Reynolds seorang ahli komunikasi krisis pada "Centers for Disease Control and Prevention" (CDC) Amerika Serikat. Katanya, komunikasi yang efektif dapat mengurangi dampak krisis kesehatan seperti pandemi dan kejadian luar biasa penyakit. "Komunikasi risiko yang efektif membuat orang menjadi tahu apa yang harus dilakukan supaya terhindar dari penyakit, ini membuat kecepatan penyebarannya berkurang," katanya dalam pelatihan komunikasi krisis dan kedaruratan kesehatan di kantor pusat CDC di Atlanta, AS, Selasa. Bahkan, ia melanjutkan, pada kejadian krisis yang akhirnya diketahui berakibat ringan seperti pandemi influenza A H1N1 arau flu babi, komunikasi risiko tak hanya dapat menekan penyebaran penyakit tapi meningkatkan kesadaran masyarakat untuk berperilaku hidup sehat. "Orang jadi suka mencuci tangan, menjaga jarak dengan orang dengan gejala influenza, dan melakukan hal-hal lain yang sebenarnya dapat mencegah berbagai masalah kesehatan, tak hanya influenza," paparnya. Apabila kita berbicara tentang risiko, berarti kita berbicara tentang potensi masalah yang dapat timbul bila tidak mengendalikan faktor risiko tersebut. Acapkali, masyarakat memiliki perbedaan pandangan mana yang disebut berisiko mana yang tidak. Sebenarnya hal ini berkaitan dengan kondisi yang mereka alami, sebagai contoh: orang yang tidak punya tempat tinggal tidak peduli bila tinggal di bantaran sungai berisiko untuk terseret banjir! Yang penting, SAAT INI, mereka memiliki tempat yang "cukup nyaman" untuk ditinggali. Jadi makin mapan suatu masyarakat, maka wawasan kenyamanannya akan makin jauh ke depan. Lagi-lagi, disinilah kepandaian kita memahami masyarakat, yang biasa disebut dengan sisi sosial dan budaya! Barbara juga menjelaskan, komunikasi risiko yang efektif harus dibangun berdasarkan kebutuhan masyarakat akan informasi akurat dan terpercaya mengenai penyakit baru yang sedang menimbulkan kedaruratan kesehatan. Di era informasi ini, sangat mudah bagi orang di kota besar untuk mendapatkan akses internet, telpon dan berbagai kanal informasi lainnya, bagaimana dengan masyarakat di daerah (mengingat krisis kesehatan paling sering berada di daerah)? Masyarakat di daerah adalah masyarakat yang memiliki komunikasi verbal dan non-verbal yang cukup baik, namun menurut hemat saya, kemampuan kepemimpinan di daerah tidaklah kuat. Bisa jadi masalah pola pengajaran atau budaya untuk belajar, bukan merupakan budaya utama. Lagi-lagi masalah mempertahankan hidup, sekedar makan-minum-sandang dan papan yang lebih diutamakan! Tentu hal ini tidak sama di setiap daerah. Jadi usulan saya adalah bantu pembentukan posko-posko bantuan yang juga memberikan informasi sekaligus bantuan logistik. Hal yang terpenting, jangan terbiasa untuk selalu mendapatkan bantuan dari orang lain, melainkan biasakan mencari ide kreatif untuk menyelesaikan masalah lokal dan menentukan perencanaan yang efektif dan efisien dalam kondisi krisis tersebut. Hal ini, seiring dengan sinyalemen Barbara tentang keingintahuan orang tentang apa yang sebenarnya terjadi pada krisis tersebut seberapa buruk dampaknya dan apa yang bisa mereka lakukan untuk menghindarinya. Barbara menganjurkan kepada pemerintah sebagai otoritas yang bertanggung jawab memberikan informasi terkait kedaruratan kesehatan, kata dia, pejabat pemerintah harus bisa menyediakan informasi yang dibutuhkan masyarakat secara cepat, supaya mereka tidak terombang-ambing dalam ketidaktahuan dan khawatir. Pemerintah, lanjut dia, harus menyampaikan informasi akurat kepada masyarakat berdasarkan data dan fakta yang ada di lapangan secara jujur, meski kadang hal itu sulit dilakukan. "Sebab, jika tidak orang akan mencari tahu dari sumber informasi yang lain yang belum tentu bisa diandalkan, yang mungkin membuat mereka justru melakukan hal yang salah," ucapnya menegaskan. Kejujuran pemerintah dalam menyampaikan informasi selama krisis kesehatan terjadi, menurut dia, sangat penting dalam upaya pencegahan perluasan dampak krisis kesehatan. "Ini membuat orang percaya, sehingga mau melakukan apa yang direkomendasikan. Mungkin tidak semua orang, tapi setidaknya akan lebih banyak orang yang akan mengikuti rekomendasi yang diberikan," ujarnya. Konsultan komunikasi risiko Jody Lanard menjelaskan, dalam hal ini pemangku kepentingan terkait tidak harus menyediakan keseluruhan informasi karena hal itu akan sulit dilakukan dalam waktu singkat saat krisis terjadi. Pemangku kepentingan terkait, kata dia, hanya perlu memberikan informasi yang mereka ketahui terkait situasi yang sedang terjadi dan langkah yang akan diambil untuk mengatasi masalah tersebut. "Jangan memberikan jaminan berlebihan bahwa apa yang terjadi bisa diatasi karena ini justru akan membuat orang yang sedang bingung dan khawatir marah, skeptis dan tidak mempercayai apa yang mereka dengar," katanya. Pemangku kepentingan terkait, lanjut dia, tidak akan bisa membuat orang tenang saat ada kedaruratan kesehatan dengan menyatakan bahwa semua "bisa dikendalikan" pada awal kejadian karena orang tahu itu tidak mungkin bisa. "Lebih baik mereka jujur kalau belum sepenuhnya mengetahui apa yang terjadi, sampaikan informasi yang sudah ketahui dan kemungkinan bahwa kondisi bisa berubah, serta pemerintah akan mencari tahu apa yang sedang terjadi dan berusaha mengatasinya," tuturnya menambahkan. Jadi untuk menjalin komunikasi yang efektif, harus dimulai dengan memahami kondisi sosial budaya masyarakat, menyebarluaskan informasi ke masyarakat se luas-luasnya untuk menghindari issue yang tidak produktif, jujur dalam arti tidak banyak memberikan janji (kurangi seremonial bantuan apalagi yang bernuansa kampanye), dan yang terpenting, berikan informasi apa yang harus dan tidak boleh mereka lakukan! Mudah-mudahan dengan cara seperti itu, komunikasi kita benar-benar efektif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H