Bareskrim Polri menyatakan bahwa tindak Pidana Vaksin Palsu akan dikenakan UU no.36 tahun 2009 tentang Kesehatan, UU no. 18 tahun 1999tentangPerlindungan Konsumen dan UU no.12 tahun 2012 tentang Pencucian Uang. (Sumber :Berbagai media masa bulan Juli 2016). Sama sekali tidak pernah menyinggung UU no.419 tahun 1949 atau Staatsblad 1937 no.541 tentang Obat Keras yang masih berlaku di Indonesia dipergunakan sebagai pengawasan Produksi dan Peredaran Vaksin. Mengabaikan UU Obat Keras salah satu faktor pencetus Vaksin Palsu di Indonesia.
Sebutan nama Obat.
Nama Obat didunia internasional dibedakan menjadi: Ethical Drugs(Prescreption Drugs) atau Obat Keras dan OTC(Over the Counter Drugs) atauObat Bebas.: Ethical Drugsatau Prescreption Drugs bahasa Indonesia disebut Obat Keras yaitu mendapatkanobat harus dengan resepyang ditulis oleh mereka yang memiliki Medical Authority (Arsenijkundigebahasa Belanda) yaituDokter, Dokter Gigi dan Dokter Hewan. Dan diperoleh harus jugamelalui Apotek serta menggunakan juga mereka yang memilikiMedical Authority dapat diceliakan ke perawat dan bidan. SedangkanOTC Drugsatau Over The Counter Drug bahasa Indonesia : Obat Bebasdiperoleh dimana saja dan digunakan oleh siapa saja. Di IndonesiaEthical Drugs dilindungi oleh satu Undang-Undang atau memiliki Payung Hukum yaituUU no.419 tahun 1949atauStaatsblad 1937 no.541 tentang Obat Keras masih berlaku di Indonesia.Vaksin sesuai Obat Daftar G dari UU no.419 tahun 1949 pasal 1 ayat 1 g.Produksi dan Peredaran Vaksin di Indonesia telah diatur dalam UU no.419 tahun 1949 tentang Obat Keras yang masih berlaku di Indonesia.
UU no.419 tahun 1949 tentang Obat Keras.
Vaksin sesuai UU no.419 tahun 1949 dikategorikan sebagai Obat Keras, untuk mendapatkannya harus dengan menggunakanresep Dokterdan diperoleh harus melalui Apotek. Vaksin termasuk Obat Daftar G dari Obat Keras mendapatkannya harus melalui resep Dokter. Yang dapat menuliskan resep harus memiliki Medical Authority (Bhs Belanda Artsenijkundige) yaitu seorang Dokter, Dokter Gigi dan Dokter Hewan serta mendapatkannya harus melalui Apotek. Menggunakan juga harus seorangDokter (dapat diceliakan kepada perawat atau bidan melalui pendidikan). Label dari ampul/botol maupun kemasan obat kerasatau vaksin harus tertera dengan simbol obat keras yaitu:
Botol dan kemasan Obat keras harus ber-simbol.
Pasal 1b dan 1c. dari UU Obat Keras menetapkan Apoteker maupun Dokter dapat menjadi Pimpinan Apotek atau dapat meracik obat. Pasal 1c menetapkan Dokter dapat meracik obat telah dianuler dengan PP no.51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian. Danpasal 3 serta pasal 5 dari UU no.419 tahun 1949 tentang Obat Keras mengatur tentang Produksi dan Peredaran Vaksindi Indonesia telah diatur dalam PP no.51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian.
.
Pengawasan Vaksin.
Sesuai dengan UU no.419 tahun 1949 tentang Obat Keras konsumen Vaksin adalah Dokter melalui resep Dokter dan bukan pasien atau anak yang akan disuntik. Obat Keras atau disebut Ethical Drugs dipromosikan hanya melalui detailmen/detailgirl, tidak diizinkan dipromosikan secara umum. Baik mendapatkan (melalui resep Dokter) maupun menggunakan vaksin adalah Dokter yang memiliki Medical Authority sedangkan menggunakan vaksin Dokter dapat men-celiakan kepada perawat atau bidan melalui pendidikan. Sehingga konsumen vaksin atau yang mendapatkan vaksin adalah Dokter melalui resep dan jugamenggunakannya sesuai dengan UU no.419 tahun 1949 tentang Obat Keras. Konsumen vaksin adalah Dokterdanbukan pasien. Pengawasan vaksin yang utama dan yangpertamaadalah seorang Dokter dikala mendapatkan dan akan menggunakannya vaksin.Terutama pada saat menggunakan vaksin : Dokter, Perawat atau Bidan minimal harusmendeteksi secara fisik: botol/ampul,isi vaksincairanatau serbuk kering, warna vaksin, kemasan, symbol obat keras : , masa kedaluwarsa dan lain-lain(Lihat Deteksi Vaksin Palsu)
Cara mendeteksi vaksin palsu.