Lihat ke Halaman Asli

Sebuah Bingkisan, Bernama Kenangan (Untuk Aini)

Diperbarui: 25 Juni 2015   05:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bukankah kau mengetahuinya? Berapa banyak surat telah kukirim padamu. Berbagai macam cara telah kulakukan agar surat tersebut sampai di uluhatimu. Seperti tujuan utama kumenulis surat itu padamu. Aku tak pernah mengharap surat itu sampai di tanganmu atau hanya berbekas di matamu. Sebab, aku benar-benar tahu tabiatmu sebagai seorang wanita.—Jika surat tersebut sampai di tanganmu, pasti kau akan bergegas untuk merobek surat tersebut. Namun, bila surat tersebut sampai di matamu, aku yakini pula surat tersebut akan kau baca sepintas lalu.
Maka, aku berharap agar surat itu sampai pada uluhatimu. Agar kau bisa merasakan, kepedihan yang ada pada setiap gores pulpen dalam surat tersebut.

Aku masih di sini, Ai. Setiap sore aku selalu menanti, untuk sekedar menikmati keindahan senja di pelabuhan Kenangan. Kau dan aku yang memberi nama pelabuhan tersebut. Sebuah pelabuhan tak berpenghuni.
Dalam batinku, aku selalu bertanya padamu: masihkah kau mengingatnya? Saat kita duduk berdua di atas bebatuan pinggir pelabuhan tersebut. Kau tersenyum manis memandangku dan aku pun begitu. Aku mengusap keringat yang ada di keningmu dan kau masih memberiku senyum. Lagi-lagi aku bertanya, dalam surat yang kukirimkan padamu; masihkah kau ingat kejadian itu, Ai?
Meski senja terus berlalu dan hari terus berganti. Aku tak pernah bosan menatap senja yang ada di pelabuhan tersebut. Senja yang mengisyaratkan sebuah bingkisan—bingkisan manis yang kuberi nama kenangan. Aku selalu melihat kenangan di situ, juga di matamu yang menyelip seberkas cahaya bernama rindu.
Di penghujung tahun ini seharusnya kau hadir bersamaku, Ai. Aku tak lagi bisa berkata-kata dengan kata-kataku. Untuk sekedar menggambarkan sebuah gejolak rasa padamu, Ai. Entahlah.. aku begitu bingung memilih kata-kata untuk secarik surat yang kan kukirim padamu. Kerna setiap goresan tinta yang membentuk kata juga kalimat, begitu menyayat titik kepedihanku. Air mataku perlahan menetes, juga bingkisan itu kembali hadir.—Sebuah bingkisan bernama kenangan!. Aku ingin kau merasakan hal yang sama, Ai.
Jika aku mengucap rindu, mungkin kata tersebut belum cukup mewakili rasa rinduku padamu. Begitupula dengan kata kangen, itu pun sepadan dengan kata rindu. Ah, Entahlah..

***

Di hari itu, tanggal 18 Desember 2010. Tepat seminggu sebelum hari Natal.
Satu tahun lalu sebelum kutulis surat itu padamu. Kau berpesan padaku: “Tolong jaga bingkisan ini, kelak kita berdua akan merindukan hari ini dan kelak kita akan mengenang hari ini.” Begitulah suara yang kau bisikkan padaku, terasa hangat hingga menaikkan bulukuduku, dan suara itu pun meresap—mengalir melalui pori-pori kulitku, hingga masuk ke dasar paling dalam hatiku. Sungguh, begitupun kehangatan suara itu masih hadir dalam benak dan pikiranku hingga saat ini dan detik ini.

Aku benar-benar melihat sebuah ketulusan di bibirmu, saat kau mengucapkan kata-kata itu padaku. Kata-kata yang juga mengingatkan aku pada ibuku. Seorang wanita perkasa yang ikhlas memberi dengan ketulusan jiwanya. Kasih-sayangnya yang teramat dalam padaku, juga tangisnya yang selalu membuatku merasa bersalah padanya.
Kaulah, Ai. yang mengingatkan aku pada mendiang ibuku. Dan itu hanya kau. Aku tak pernah melihatmu mengeluh dengan apa yang kau milikki. Kau begitu berbeda dengan wanita yang lain, kau sama seperti ibuku; menerima apa yang ada, yang diberi olehNya.
Begitulah adanya, kau tak pernah meminta ini-itu. kau tak pernah meminta mainan; boneka barby saat kau masih kecil, atau meminta dibelikan lipstik dan bedak ketika kau mulai beranjak dewasa. Kau cantik natural. Hal-hal itulah yang membuatku kagum padamu. Hingga saat ini dan detik ini.
Satu tahun yang lalu, tepat seminggu sebelum hari Natal.
Dan tepat satu tahun yang lalu, sebelum aku menulis surat itu untukmu.
seusai kita menghabiskan pagi di jalanan, saat kita berboncengan dengan kendaraan bermotor, kau rangkul tubuhku. Keringatku-keringatmu bercampur dengan debu jalanan. Juga langit siang yang benar-benar cerah, berhias sisa bulan malam yang samar-samar terlihat, berpadu menghadirkan sebuah ingatan dan keindahan didalamnya. Saat kau bercerita tentang kehidupanmu, tentang keluargamu dan tentang berbagai hal, apasaja yang ingin kau ceritakan padaku.
Sama sekali, aku tak pernah merasa bosan ataupun suntuk dengan ceritamu, aku mendengar ceritamu bak dongeng yang dibacakan ibuku dulu. Dongeng sebelum tidur, ketika aku masih berusia empat tahunan saat itu.

Tak terduga betapa lekas siang menepi. Saat cahaya langit mulai meredup, saat burung-burung kembali menuju sarangnya, juga para pekerja bangunan yang ingin segera melepas rindunya pada istri dan anaknya.
“Ingat-ingatlah, hari ini kita pernah berjalan berdua, bergandeng tangan, aku merangkulmu begitupun kau. Kau mengusap keningku dan aku meniup matamu yang pedih kerna terselipi debu jalanan. Ingat-ingatlah kita pernah menikmati satu hari penuh, hanya kau dan aku. Dan kumohon, bawalah aku menuju sebuah pelabuhan. Pelabuhan apasaja yang bisa menyimpan rahasia kita berdua. Sebuah rahasia yang kelak kan terkuak dengan sendirinya. Dan waktulah yang akan membuka semua rahasia tentang kita.” Begitulah kau berucap padaku.

Aku tersenyum mendengar kata-katamu. Benar, saat itu aku hanya ingin menuruti semua apa yang kau katakan padaku. Mengenai sebuah pelabuhan, aku membawamu menuju sebuah pelabuhan, dimana tak seorangpun terlihat di sana—di pelabuhan itu. Sebuah pelabuhan bekas penjajahan kolonial Belanda, yang saat ini tak lagi terpakai. Sebuah pelabuhan tak bernama. Atau mungkin dahulu mempunyai nama dan sekarang tak mempunyai nama lagi. Atau pelabuhan yang dulu memang tak bernama sampai saat ini. Entahlah.. aku tak begitu tahu tentang sejarah terbangunnya pelabuhan itu.
Kuambil dua bongkah batu untuk tempat duduk kita berdua, menghadap kearah laut sebelum cahya mentari benar-benar padam di seberang laut itu. kau mencium keningku—dan kulihat matamu, kulihat rambutmu, kulihat bibirmu, kulihat semua bagian tubuhmu. Dan kembali pada matamu. Kulihat lagi matamu; berkaca-kaca, perlahan menetes air dari matamu dan kita saling berpeluk. Kuusap air mata yang menetes dipipimu, dan kita kembali berpeluk. Sebelum kau bersandar dipundakku untuk sekedar menikmati sebuah bingkisan darimu untukku, dan dariku untuk kita berdua.
—sebuah senja di pelabuhan tak bernama. Dan seketika itu juga, kita memberikan nama pada pelabuhan itu: ‘Pelabuhan Kenangan’. Burung-burung camar, siluet senja yang memantul di matamu, gelombang air laut, serta nyanyian angin yang berbisik pada pasir pantai menghadirkan sebuah harmoni, antara jagad dan alam batin kita.
Kitapun menikmati senja sampai habis tak tersisa, kau memejamkan matamu dipundakku hingga fajar menjelang. Kubangunkan kau, tapi tak terjawab. Kugoyang-goyangkan tubuhmu, kubuka-buka matamu, kupangil-panggil namamu: Ai.. Ai.. Aini.. kau masih tak menjawab. Air mataku kembali berlinang memandang wajahmu...

***

Entah mengapa.. tiba-tiba aku benar-benar ingin menulis sebuah surat yang kutujukan padanya. Setelah satu tahun aku tak mencium bau tubuhnya. Aku juga pernah mencoba melupakan hari-hari yang telah berlalu. Tepatnya: kejadian antara satu tahun lalu. Namun, sebuah bayang-bayang dari bingkisan yang dia berikan padaku itu; masih saja menghantui benakku. Dan aku pun memutuskan untuk membuka bingkisan yang diberikannya padaku saat itu. sungguh, sebelumnya aku tak pernah berniat untuk membuka bingkisan tersebut.
Dalam kotak berpita itu; di dalamnya berisi potret kenangan kita. Antara waktu satu tahun yang lalu. Dan dalam bingkisan tersebut terselip sebuah surat yang bertuliskan:
Jika kau benar-benar rindu dan kenangan telah merasukki pikiranmu, maka datanglah ke pelabuhan Kenangan; tempat kita berdua memandang senja. Aku akan berada di sana bersama burung-burung camar. Aku akan hadir di langit ketika senja tiba. Dan begitupun aku, kan merasakan kerinduan yang sama padamu.
Sekejap, air mataku meleleh. Kata-kata itu bagai menyihirku untuk masuk menuju alam bawah sadarku, menghadirkan ribuan, bahkan jutaan kenangan antara dia dan aku. Kotak itu benar-benar menyihirku menjadi seorang anak laki-laki yang cengeng, seperti saat aku berusia empat tahunan dulu. Saat aku menangis kerna ibuku tak menghadirkan dongengnya sebelum aku tertidur. Dan kini, dongeng tentang dia dan aku yang membuat sumber mata air dimataku pecah, tak habis dan tak akan habis untuk mengungkap kenangan yang ada...

Aku tak pernah tahu, surat ini akan kutujukan pada alamat yang mana.
Sungguh, aku benar-benar tak tahu aku harus mengirim surat ini kemana.
Aku benar-benar tak tahu tulisan apa yang pantas untuk mengisi bagian surat ini untuknya. Yang aku tahu; aku hanya ingin menulis sebuah surat, untuk seorang wanita yang meninggalkan sebuah bekas pada ingatanku, berupa: bingkisan yang bernama kenangan.
kuputuskan untuk memasukkan surat itu kedalam botol bekas minuman. Kututup rapat dan kan kubuang surat itu ke laut. Di mana kisah kita terjadi di pelabuhannya.—Pelabuhan Kenangan.

Menjelang fajar di Prambanan, 19 Mei 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline