Pria itu masih duduk termenung, mengeja hal-hal apa saja yang membuatnya bersedih. Penyebab utamanya ternyata cuma satu, orang yang ia harapkan menjadi kekasihnya telah pergi.
Seorang diri di atas bukit pada malam hari, membuatnya terlihat aneh memang. Belum lagi udara di bukit ini cukup dingin bagi dia yang tak mengenakan jaket. Tiada penerangan selain cahaya bulan dan setitik bara api dari rokoknya.
" Lihatlah aku dapat berbicara denganmu wahai pria murung!"
Aroma kopi merebak setelah ucapan itu terdengar. Sumber suara itu rupanya berasal dari gelas kecil di sampingnya. Mimpi aneh macam apa ini? Gelas kopi dapat berbicara? Tapi bukankah di luar sana dunia memang begitu aneh? Pikirnya.
"Hei pria murung! Coba ceritakan apa masalahmu. Nanti aku bantu menjawabnya." Gelas kopi bersuara kembali. Suaranya serak namun tegas seperti suara pria tua.
" Aku sudah merapal mantra-mantra. Kuharap akan muncul bidadari atau mungkin naga sang penunggu bukit ini. Tapi mengapa gelas kopi yang berbicara!" Pria itu mengeluh.
Malam makin tegas tatkala bulan sejajar di atas kepalanya. Di langit ada bintik-bintik bintang. Udara terasa menjadi lebih dingin. Ketimbang tidak ada yang mendengarkan unek-uneknya, lebih baik meladeni gelas kopi ini saja, pikirnya.
" Hmm aku tak habis pikir. Bagaimana mungkin aku harus melupakan orang yang sedang kucintai?" Pria itu melempar tanya.
" Hahaha! Kau sedang patah hati wahai pria murung? Sekarang kau galau menerka perasaanmu?" Gelas kopi menanggapi. Suara tawanya terdengar cempreng di telinga.
" Sebentar! Bagaimana kalau kau dengarkan dulu ceritaku. Setelah itu baru boleh berkomentar." Pria itu menggeser gelas kopi lebih dekat.