Seorang siswa SMA ditunjuk guru Bahasa Indonesia untuk mengikuti lomba pidato hari kemerdekaan di luar sekolah. Akan tetapi, siswa tersebut mendapatkan penilaian buruk di mata pelajaran PPKn karena tak menghadiri beberapa jam penting di kelas.
Sebagai guru, pernahkah kita menemukan fenomena semacam ini? Walau semua nilai akan tuntas melebihi KKM pada waktunya, tapi saya kira ada yang bermasalah dalam proses pembelajaran kita. Sebab, sejauh pengamatan saya khususnya di SMA, kita sedang terjerat kebiasaan" bagimu pelajaranmu, bagiku pelajaranku".
Kita bermasalah dalam menjalin kesepahaman untuk membawa semua mata pelajaran menuju satu titik "ketuntasan belajar" yang sama. Kita terlalu lama berjalan sendiri-sendiri, sehingga ungkapan seperti " dia buruk di pelajaran biologi, tapi baik di pelajaran Bahasa Indonesia" kerap muncul hingga sekarang.
Bahkan kita mungkin masih sempat mendapat pertanyaan-pertanyaan polos dari siswa seperti, "Bu, untuk apa sih belajar Bahasa Indonesia? Saya lebih suka sejarah."
Sudah cukup lama, administrasi penilaian seperti ketentuan KKM atau standar nilai per-mata pelajaran, penilaian setiap kompetensi, penilaian harian, dan lain sebagainya, menyebabkan kita sibuk sendiri lantas terkurung dalam tanggung jawab objektivitas penilaian, tanpa sempat memikirkan "produk" pembelajaran.
Proses pembelajaran yang membuat siswa tersekat-sekat dalam kegiatan yang tak sejalan seperti itu, terbawa hingga pada masa PJJ belakangan ini. Siswa dan keluarga pun mengeluhkan pembelajaran dari rumah.
Bukan saja perihal kuota internet, namun siswa semakin kabur dalam memandang fungsi ilmu atau kompetensi pada setiap mata pelajaran yang begitu banyak.
Seperti yang menjadi salah satu latar belakang masalah dalam perumusan kurikulum darurat masa pandemi Covid -19, bahwa siswa kesulitan konsentrasi belajar dari rumah dan mengeluhkan beratnya penugasan soal dari guru. Mereka pun akan cenderung skeptis kepada proses penilaian.
Bahasa Indonesia sebagai Pintu Pemersatu Ilmu
Faktanya, jauh sebelum PJJ atau belajar dari rumah berlangsung, kita memang perlu pendekatan "transdisiplin" pembelajaran. Sebagaimana yang disosialisasikan dalam paparan Wamendikbud tahun 2014, mengenai tema pengembangan kurikulum 2013 (kurtilas).
Artinya, kita bukan hanya menekankan penguatan sikap atau karakter, kognitif dan keterampilan, tapi juga pengetahuan yang "terintegrasi." Dalam hal ini, mata pelajaran Bahasa Indonesia paling leluasa untuk "mengakomodir" kebutuhan kompetensi semua mata pelajaran.
Kurtilas memang telah memformulasikan Bahasa Indonesia sebagai penghela mata pelajaran lain. Seperti dijelaskan dalam Seminar Nasional Pendidikan Bahasa Indonesia tahun 2015, bahwa melalui pendekatan Pedagogik Berbasis Genre serta teori CLIL (Content, Language, Integrated Learning), mata pelajaran Bahasa Indonesia ditekankan sebagai wahana ilmu pengetahuan (carrier of knowledge).