Hari Pendidikan Nasional tahun 2020 mendapat kado unik berupa realitas yang cenderung baru, khususnya bagi pendidikan sekolah dasar dan menengah. Fenomena pembelajaran jarak jauh ( PJJ) atau belajar dari rumah yang telah ditempuh sekitar satu bulan belakangan ini, seolah-olah menjadi bungkusan yang menggoda untuk dibuka lalu melihatnya sebagai bekal untuk memaknai kembali pendidikan.
Sebagai bentuk pencegahan penyebaran covid -19, ketetapan untuk meniadakan kegiatan pembelajaran di sekolah sudah tentu memberi dampak baik. Namun, pandangan lain yang timbul terhadap PPJ pun tak dapat dibendung. Misalnya, seperti dilansir harian kompas 30/4/2020, bahwa PJJ masih menjadi kendala bagi orangtua dan guru di pedalaman Kalimantan Timur karena minimnya akses jaringan internet.
Kendala-kendala dalam PJJ semacam itu rupanya dapat pula terjadi di kota-kota besar. Akan tetapi, hambatan teknis seperti jaringan internet sepertinya menjadi bagitu naif untuk dibicarakan lebih jauh. Terlebih, Kemendikbud telah mengumumkan "Jadwal Belajar dari Rumah" melalui Televisi Republik Indonesia (TVRI) sejak 13 April lalu, sebagai upaya perluasan jangkauan proses pendidikan jarak jauh.
Maka sampailah kita pada pandangan bahwa teknologi digital memaksa untuk diakui sebagai primadona yang menjadi solusi dari masalah. Walau pada kenyataannya, interaksi jarak jauh tetap saja memiliki untung-rugi dalam proses komunikasi. Seperti halnya tatkala beredar keluhan mengenai proses belajar yang dialami siswa dalam PJJ.
Dilansir detik.com 27 April 2020, Retno Listyarti mewakili Komisi Perlindungan Anak Indonesia ( KPAI ) menyampaikan, bahwa dari 1.700 responden (siswa SD-SMA/Sederajat) dalam sejumlah provinsi ditemukan 77,8% mengalami kesulitan karena guru memberikan tugas yang menumpuk dengan deadline yang dianggap cepat. Selain itu, 37,1% mengeluhkan waktu pengerjaan tugas yang sempit lantas membuat siswa kurang istirahat dan letih.
Kesimpulan untuk menyudutkan guru atau pihak sekolah terkait keluhan PJJ itu sepertinya kadung menjadi sah. Walau jangan-jangan teknologi komunikasi yang sedemikian variatif dan berkembang itu belum mampu mengawal makna komunikasi secara utuh. Artinya, teknologi di era digital bukan hanya mampu menebas jarak antar masyarakat, namun "makna" dalam komunikasi itu pun agak-agaknya juga ikut tergerus.
Guru dengan bekal makna "mendidik" yang telah berupaya memberikan pembelajaran melalui teknologi era digital itu justru malah dimaknai dengan "membebani". Pada sudut pandang lain, siswa dengan keluhan tadi pun jadi kehilangan makna karakter "daya juang", "mandiri" dan "pantang menyerah". Padahal mungkin saja siswa memang memiliki keterbatasan secara teknis dan kesibukan dalam waktu luang.
Apabila guru beserta segala perangkat teknologi era digital itu dianggap belum maksimal dan bahkan membuat stres siswa, maka pertanyaan baru pun timbul. Adakah elemen lain yang harus digali kembali potensinya untuk menyumbang solusi masalah PJJ ini? Atau, apakah fenomena ini menandakan bahwa proses pendidikan bukan untuk dilakukan dengan model jarak jauh?
Saya teringat konsep Tripusat Pendidikan dari Ki Hajar Dewantara yaitu keluarga, sekolah, dan masyaraka sebagai lingkungan keberlangsungan pendidikan anak (siswa). Bagi Ki Hajar Dewantara peran keluarga adalah perihal vital dalam proses pendidikan. Lantas, bagaimana peran orang tua selama PJJ ini? Mampukah orang tua membedakan gerak-gerik anaknya yang sedang memegang android untuk mengerjakan tugas belajar di platform digital, atau sedang memainkan aplikasi tiktok ?
Marendra Agung J.W ( 1 Mei 2020)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H