Beberapa langkah memasuki 2018, aku berpikir ingin membuat semacam "resensi". Tunggu, bukan resensi buku yang kumaksud, tapi resensi zaman (hmm, tua sekali rasanya). Tapi "zaman" yang kumaksud adalah apa-apa yang terjangkau olehku. Yang kuhadapi dalam hari-hariku di tahun-tahun sebelum ini ( tentu yang kuingat dan berbekas dalam benak). Agar "resensi " ini tidak dianggap sebagai asumsi seorang tokoh dengan kadar kebenaran yang perlu tinjauan, jadi sebut saja ini resensi zaman(ku). Aku bersyukur karena dianugrahi banyak kasih sayang Tuhan, walaupun bukan uang, tapi ini lebih dari itu, yaitu teman.
Aku memiliki teman banyak dan beragam, teman yang pedagang pasar, teman yang nyeni, teman yang gamers, teman yang driver, teman yang murid, teman yang intelektual, teman yang polisi, teman yang ustadz, dan banyak lagi, mereka begitu aku senangi. Apabila menggunakan klasifikasi yang mainstream dipakai, boleh jadi mereka teman-teman millenial, juga teman-teman yang begitu konvensional. Tapi aku tak suka menyebut dengan istilah itu apalagi menyebutnya dengan modern dan tradisional. Sebab, tak ubahnya sepeda onthel dan motor, bukankah gawai yang kita genggam ini akan menjadi begitu tradisional tatkala lahir piranti baru yang jauh lebih memukau nanti?
Kepala PHD Asia Pasific, Chris Stepenshon mengatakan, bahwa segala kemajuan Iptek yang sedang berlangsung dan kita rasakan belakang ini belumlah finish. Setidaknya kita ada pada fase ke 3 dari lima 5 fase yang ia asumsikan. Yang mana puncak dari pengembangan Artificial Intelligence pada kisaran tahun 2030-2050, adalah ketika teknologi akan menyatu dengan jiwa dan raga manusia. Menarik sekali bukan?Entah mengapa, aku jadi ingat Syeh Siti Djenar.
Oleh karena itu, aku tak akan menyebut teman-temanku zaman now atau old. Aku sebut mereka dengan zaman "no". Sebab, aku jadi menemukan, bahwa teman-teman zamanku ini sedang memiliki kecenderungan "no". Hampir sebagaian besar dari mereka sedang terdominasi dengan hasrat 'no', yang aku maknai ini dengan sikap "tidak". Sikap menolak dan melawan. Sayangnya, sebagian dari teman zamanku ini terkadang salah alamat ketika mengaplikasikan "no".
Teman zamanku yang intelektual misalnya, sedang asik melontarkan ungkapan" keluar dari zona nyaman". Mereka mungkin mencoba menafsirkan ungkapan itu dengan menolak yang neyaman-nayaman, atau menolak yang normal-normal? Aku tak paham maksud mereka, mungkin itu sebatas slogan. Sebab yang terjadi malah lucu. Misalnya, ketika mengantuk mereka akan mengaduk kopi dan pegang android sampai pagi, ketika harus pergi ke kampus mereka malah sangat ingin memeluk guling. Apa itu yang mereka maksud keluar dari zona nyaman? Lagi pula, aku kira mereka tidak akan pernah bercita-cita menjadi kuli bangunan, atau pedagang bakso keliling.
Di kantor tentu lebih nyaman bagi mereka. Ada juga teman zamanku yang ustadz yang sedang menggalakkan dakwah virtual, satu hari satu postingan di facebook. Beberapa anjurannya yang paling aku senang adalah "jangan mau tergoda oleh dunia, jangan terbuai oleh musik, jauhi orang kafir." Ia sangat "no" kepada dunia, tanpa pernah bersia-siap untuk hengkang dari kota menuju hutan. Apa salahnya dunia ini?sehingga harus dijauhi?bukankah ia sedang hidup di dunia? Aku juga heran, mengapa ia "no" siapa saja yang tak seidentitas dengannya walaupun ada sesuatu yang baik yang dibawa oleh orang beda tersebut. Suatu ketika ia bertanya tentang penutup pidato yang menarik, lantas aku beri ia konsep. "Ilmu tanpa agama buta, agama tanpa ilmu lumpuh". Kemudian..
" Bagus juga".
"Ya itu kata Einsten."
" Wah, jangan. Coba yang lain."
Memang tidak dipungkiri, segala bentuk kemajauan atau perkembangan berawal dari sikap kritis yang boleh dikatakan berlaku "no", akan tetapi tidak semua harus di"no" kan. Terkadang kita perlu melihat batas-batas mana yang perlu "no" mana juga yang perlu "yes". Aku jadi teringat falsafah lama yang berbunyi "wolak-walik ing jaman", yang maknaya aku cocokan dengan zaman terbalik. Ketika teman-teman zamanku bersikap "no" kepada yang mestinya dihadapi dengan sikap "yes", dan sebaliknya kepada yang harus dihadapai dengan sikap "yes", malah dihadapi dengan sikap "no". Seperti tamanku yang polisi, bukankah ia mestinya berlaku "no" pada pelanggaran hukum? Tapi temanku ini selalu girang ketika dapat amplop, dengan mendahulukan seorang yang ingin punya sim dengan praktis.
Kendati demikian, aku juga menemukan "no" yang tepat dari temanku, misalnya pada teman zamanku yang seniman, yang kesal karena gitar resonator ( jenis gitar blues) begitu mahal sehingga ia menolak tanpa ampun untuk membeli gitar kesukaannya tersebut. Baginya, kapitalis (industri) sangat lebai memberi harga. Temanku yang pemain blues ini menemukan formula untuk membuat gitar tersebut.