Lihat ke Halaman Asli

Drajatwib

Penulis amatiran

Harumnya Buku Baru, Harumnya Cerita Masa Kecil

Diperbarui: 14 Juli 2020   21:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi tumpukan buku di perpustakan. (sumber: pelita.or.id)

Bau khas kertas pada buku yang baru kuterima ini mengingatkanku pada harum setiap buku yang aku baca di sebuah toko buku yang terletak di perempatan jalan Jenderal Sudirman, Yogyakarta. Letaknya tidak jauh dari tempatku sekolah di daerah Kotabaru, kala itu sekitar tahun 80' an.

Kubolak balik halaman buku ini dan sengaja kuhirup dalam-dalam harum baunya untuk membawa ingatanku melayang kembali ke saat-saat itu.  Saat dimana, setiap jam kosong karena guru rapat dan siswa boleh pulang awal menjadi kesempatan bagus untuk glesotan disela-sela gang pada arak-rak ditoko buku itu. 

Entah apa yang membuat para pegawai toko buku itu dulu membiarkan kami membolak-balik, dan asik membaca buku sambil glesotan dilantai, dan tentusaja ketika selesai tidak dibeli, karena uang saku yang pas-pasan untuk sekedar naik angkot pulang kerumah, kala itu namanya kol-kampus, satu-satunya transport umum di Yogyakarta sebelum adanya bus kota. 

Mungkin saja mereka menyadari pentingnya literasi bagi anak-anak yang tidak mampu beli buku, atau mereka tidak tahu harus berbuat apa, toh pengawasnya tidak pernah membicarakan hal apa-apa tentang tingkah laku kami kala itu.

Belum lagi aku membaca satu kalimatpun pada buku yang baru tiba ini, kecuali judul pada halaman cover-nya, sebab setiap kali membuka halaman pertama, kembali bau harum itu menyeruak lagi dan muncullah beberapa frame kenangan masa sekolah di SMP Negeri V, Kotabaru, Yogyakarta.

Satu frame yang selalu muncul, meski tidak terkait langsung dengan toko buku, dan aktifitas glesotan membaca buku, adalah kenangan tentang seorang tukang becak yang sedang makan dengan lahapnya disebuah warung kecil, tanpa atap tenda, kecuali satu meja panjang dan dua bangku dikiri kanannya tempat para pembeli duduk dan makan disitu.

Serta seperangkat alat makan, bakul nasi, panci sayur, dan nampan isi gorengan sebagai lauk nasi rames ditempat itu. Tempat itu berada persis disebelah toko buku tempat kami biasa glesotan membaca buku. 

Berada diantara beberapa pohon perindang berbatang besar dan berdaun lebat yang menaungi warung itu. Entah apa jadinya jika daun-daun kecil pohon itu berjatuhan saat panci sayur tidak ditutup. Mungkin akhirnya jadi bagian dari sayur dan semakin menambah nikmatnya makan ditempat itu. 

Yang jelas, frame itu amat berkesan, karena pak tukang becak itu tampak sangat menikmati sepiring nasi rames yang disuapnya tanpa sendok, kecuali jemarinya yang dalam keseharian lebih banyak bergaul dengan stang becak yang dikayuhnya. 

Frame itu mungkin kuat melekat dibenakku, karena menggambarkan kenikmatan sebenarnya berasal dari hal-hal sederhana, sejauh kita mensyukurinya.

Kembali ke toko buku itu. Kadang ketika ibu sedang ada uang atau aku berhasil menghemat uang jajan selama seminggu, beberapa buku itu terbeli juga.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline