Kata orang sekolahan, tata pemerintahan demokrasi bertolak dari anggapan dasar tentang manusia sebagai makhluk yang rawan, rapuh, dan mudah terjatuh alias gampang tergoda harta, tahta, dan sosialita.
Agar kehidupan sosial bisa berjalan tertib dan teratur, hingga orang-orang bisa dikendalikan dan tidak saling menjatuhkan, disepakatilah adanya sebuah aturan-aturan, misalnya saja dengan diterbitkannya undang-undang berikut segala turunannya.
Sementara itu, masa pandemi mengajarkan kita betapa, di hadapan virus--yang disebut-sebut bisa dicegah hanya dengan mencuci tangan dengan air mengalir serta pakai sabun saja--mahluk bernama manusia begitu tak berdaya. Sudah banyak yang meninggal dan ratusan ribu lainnya terpapar.
Beruntung, manusia adalah makhluk yang punya banyak akal seperti saat mereka koq bisa-bisanya memikirkan sebuah rumusan pemerintahan bernama demokrasi.
Dan, untuk mencegah virus merasuki jiwa dan raga, ditempuhlah berbagai cara termasuk dengan memroduksi anti-virus hingga menggalakkan kebiasaan baru bagi warga untuk selalu memakai masker, rajin cuci tangan pakai sabun dengan air mengalir, dan menjaga jarak.
Dari sudut pandang manusia yang menaati aturan-aturan masa pandemi, kepatuhan menjalankan protokol kesehatan merupakan perwujudan dari kepedulian pada diri sendiri, dan saat bersamaan merupakan bentuk pemahaman bahwa manusia, tanpa kecuali, mudah terinfeksi virus.
Oleh karena itu, kita perlu menjaga diri sendiri yang apabila spektrumnya diperluas bisa diartikan sebagai sebuah tindakan menjaga sesama manusia.
Akhirnya, berangkat dari celotehan-celotehan di atas, mereka yang rajin cuci tangan di air mengalir dengan memakai sabun, rutin memakai masker, dan selalu menjaga jarak di kerumunan, tanpa mereka sadari, telah menjadi para pejuang dan pengamal nilai-nilai demokrasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H