Sebuah meme berseliweran di lini masa, bunyinya 'kenalan di FB, chattingan di inbox, pindah ke WA, selalu kasih kabar dan perhatian, timbul rasa suka, jadian, punya panggilan mesra, cemburu, ngambekan, saling blokir, bubaran sebelum ketemu.'
Saat sebagian besar orang masih mengharap menemukan cinta di dunia nyata, segelintir orang lain lebih nyaman berpacaran secara daring alias online, dengan media sosial yang dioperasikan melalui ponsel sebagai medianya.
Di zaman ini, ponsel telah bermetamorfosa dari sekadar alat komunikasi menjadi wahana pelarian bagi orang-orang yang merasakan kehidupan di dunia nyata terasa terbatas dan membosankan, lalu merasa telah menemukan kenyamanan dengan ponsel.
Ponsel hadir tak ubahnya seorang psikolog rupawan, yang telah menyelamatkan hidup kita. Ponsel dianggap sebagai piranti yang paling mengerti diri kita, yang kadar pengertiannya jauh melebihi orang-orang terdekat seperti orang tua, kerabat, dan sahabat di dunia nyata.
Ponsel selalu setia menemani termasuk saat kita dihadapkan pada situasi paling darurat dalam diri kita. Benda mungil bernama ponsel pun seolah-olah paham situasi pelik yang sedang kita hadapai.
Ponsel lantas mengarahkan kita untuk menyapa, melihat-lihat, dan berhubungan dengan orang-orang dan atau situs-situs internet tertentu, yang dikesankan tepat atau cocok untuk saling berbagi kesenangan dan kenikmatan, di mana di kehidupan nyata amat sulit dilakukan karena kita tak berdaya untuk meraihnya.
Kita pun lantas mengesampingkan risiko yang menyelinap termasuk saat kita menghabiskan uang untuk membeli paket internet. Kita juga tak lagi menyadari bahwa yang kita hadapi adalah sebuah pencapaian mengagumkan dari kemajuan di bidang teknologi informasi super canggih yang berkait kelindan dengan kepentingan bisnis.
Ponsel sepertinya mengerti sepepuhnya kebutuhan mendasar dari sebagian besar orang yang selalu ingin disukai dan ditemani, hingga kita pun merasa sukses dan bahagia saat bisa disukai dan ditemani dan disukai banyak orang secara virtual.
Padahal, di balik itu semua, perlahan namun pasti kita mulai tercerabut dari kehidupan nyata dan menjadi pribadi-pribadi yang rapuh dan keropos.
Kerapuhan itu ternyata berawal dari kepercayaan total yang kita berikan pada ponsel di saat kita tak mampu membereskan masalah yang kita hadapi di dunia nyata, dan memilih ponsel sebagai jalan ke luar.