Pagi menjelang siang, aku duduk di sebuah kantin tak jauh dari tempat parkir sepeda motor yang hanya berjarak sekitar 100 meter dari patung Jendral Sudirman di Jakarta. Sesekali angin bertiup kencang. Kantin masih sepi dari pengunjung, hanya para penjual aneka makanan dan minuman saja yang tampak sibuk mempersiapkan segala kelengkapan jualan. Di kantin itu aku memesan segelas Jus Alpukat.
Tiba-tiba, sebatang sedotan berwarna pink menggelinding tertiup angin. Sedotan jatuh ke lantai menimpa kerumunan semut yang saat itu tengah berkonsentrasi mengerumuni tumpahan es jus yang bercecer di lantai. Puluhan semut berlarian diiringi alunan lagu yang diputar si abang penjual rupa-rupa vcd: //Sendiri lagi seperti dahulu/tanpa dirimu di sisiku/tetes air mataku hatiku pedih/membasahi undangan pernikahanmu//
Jus Alpukat pesananku datang. sekilas kuperhatikan jus pesananku. Cairan jus hampir menyentuh bibir gelas. Hawa panas mendesakku untuk segera meminum Jus Alpukat.
Jus Alpukat tinggal separuh. Kulemparkan pandangan ke sekeliling. Perempuan bercelana jeans berambut ikal diikat seadanya yang saat itu sedang asyik membaca Warta Kota menjadi sasaran pengamatanku. Kutaksir usia perempuan itu 40-an. Sambil mata terus memandangi lembaran koran ia bercakap-cakap dengan perempuan lain yang duduk satu meja dengannya dengan kedua kaki terangkat dan diayun-ayunkan. Kutebak kedua perempuan ini adalah pemilik salah satu warung di situ.
Bibir perempuan lawan bicara perempuan bercelana jeans itu tampak sesekali komat-kamit mengikuti alunan lagu: //Sendiri lagi seperti dahulu/tanpa dirimu di sisiku/tetes air mataku hatiku pedih/membasahi undangan pernikahanmu//
Komat-kamit perempuan lawan bicara perempuan bercelanan jeans mendadak berhenti. Sebuah seruan dari seorang lelaki mengagetkannya. Buru-buru ia beranjak dari kursi kayu yang sedari tadi didudukinya. Setengah berlari ia hampiri sumber suara yang hanya berjarak lima meteran dari tempatnya semula. Sambil berjalan setengah berlari itu ia sempatkan melepas karet gelang yang sedari tadi mengikat rambut hitamnya.
Berlatar suara yang muncul dari penggorengan berisi minyak goreng yang mendidih kuperhatikana mereka asyik bercakap-cakap. Sesekali tangan si lelaki mengelus-elus mesra pundak perempuan yang tadi sambil berjalan setengah berlari melepaskan karet gelang pengikat rambutnya. Tepukan mesra si lelaki dibalas kerlingan manja si perempuan. Tingkah mereka disaksikan potongan-potongan paha, dada, sayap, kaki ayam yang bugil dan siap dijerumuskan di penggorengan.
Oiya, lagu sudah berganti. Kali ini penjual vcd memutar lagu yang usianya jauh lebih tua dari lagu tadi: //Ini hidup wanita si kupu-kupu malam/Bekerja bertaruh seluruh jiwa raga/Bibir senyum kata halus merayu memanja/Kepada setiap mereka yang datang//
Dasar gelas berisi es jus yang kuminum mulai terlihat. Segera kuraih dompet dari saku celana. Kutarik tiga lembar uang duaribuan. Kuperhatikan jam yang ada di layar telepon genggamku: 9.45. Sinar matahari memantul-mantul dari kaca spion dari puluhan sepeda motor yang berjajar rapi di parkiran. Aku bergegas menghampiri penjual Es Jus.
"Mas?" Ucapku memanggil penjual aneka jenis minuman. Saat itu kulihat ia sedang sibuk menyusun puluhan gelas. Mendengar suaraku ia menoleh.
"Oh ya pak." Jawabnya singkat sambil berusaha ramah.