Lihat ke Halaman Asli

Khudori Husnan

peminat kajian-kajian budaya populer (https://saweria.co/keranitv)

Sudjojono di Muka Cermin Dirot Kadirah

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sudjojono hidup kembali. Setidaknya itu yang saya rasakan saat mengamati lukisan-lukisan perupa Dirot Kadirah yang dipamerkan di Tugu Kunstkring Palaeis 31 Desember 2013 – 12 Januari 2014 bersama dengan para perupa Atika Hariyadi, Shohieb Toyaroja dan Yopi Hendiana.

Wawasan mendalam di balik lukisan-lukisan Sudjojono yang mencerminkan pergulatan batin seseorang dengan lingkungan berikut kebiasaan-kebiasaannya amat kuat membayangi lukisan-lukisan Dirot.  Seperti juga lukisan-lukisan Sudjojono, lukisan-lukisan Dirot mencerminkan pelukisan obyek-obyek tertentu secara rinci, lugas, serta tulus.

Dirot dan Sudjojono

Garis dan warna-warna tegas menghiasi nyaris keseluruhan lukisan-lukisan Dirot yang kebanyakan melukis aktivitas sehari-hari masyarakat pesisir seperti  panorama laut, keuletan nelayan, aneka jenis ikan, dan suka duka menjadi keluarga nelayan.

Komposisi garis dan warna dalam lukisan-lukisan Dirot menyiratkan warna-warna gotikyaitu permainan warna yang membuat lukisan memiliki aneka lapisan makna irasional dan  asing; obyek-obyek alami dibetot dari bentuk-bentuk alamiahnya menjadi  bentuk-bentuk baru yang aneh. Di samping itu, warna-warna gotik juga menyiratkan hasrat dan sensualitas (Bdk Margaret Cohen, 1993:3-4).

[caption id="attachment_313059" align="alignleft" width="300" caption="(sumber foto: www.gandringproduction.com)"][/caption]

Panorama alam pada lukisan Dirot “Rejeki Depan Mata” (180 x 140 cm: 2013) misalnya adalah panorama yang ganjil, gubuk bambu kecil berbentuk panggung diapit tiga pohon yang berada persis di bibir pantai; ihwal hasrat dan sensualitas tercermin nyaris tanpa cela dari lukisan “Pelabuhan Hati 2” (18 cm X 145 cm: 2013) yang melukis sepasang suami istri sedang bermesraan di hadapan tiga anaknya. Teknik warna-warna gotik pada lukisan Dirot menjadikan lukisan-lukisannya  semarak dan menyala.

[caption id="attachment_313058" align="alignright" width="300" caption="(sumber: gandringproduction.com)"][/caption]

Berdeda dari lukisan-lukisan Sudjojono, misalnya Kampung Nelayan Kalibaru (100x165 cm) yang melukiskan obyek-obyek dengan permainan corak dan warna yang dramatis tapi lembut, lukisan Dirot mengambil warna-warna kontras hingga cenderung urakan. Pendeknya, sementara lukisan-lukisan Sudjojono menyiratkan kondisi kejiwaan batin yang halus dan lembut Dirot mengekspresikan kondisi jiwa muda yang galak.

[caption id="attachment_313061" align="alignnone" width="300" caption="Kampung Nelayan Kalibaru (sumber: www.christie.com)"][/caption]

Pada lukisan-lukisan Dirot pesan yang  mengemuka ialah adanya upaya Dirot menggabungkan dua hal yang bertolak belakang mencakup keberhasilan sekaligus kegagalan, ketakutan sekaligus keberanian, ketangguhan sekaligus kerapuhan, dan ketakutan sekaligus keterpesonaan.

Perupa perbatasan

Permainan warna-warna gotik yang diperagakan Dirot membawanya pada posisi strategis tapi sekaligus problematis khususnya dalam percaturan perupa Indonesia mutakhir yang telah melahirkan nama-nama seperti Nyoman Masriadi dan Eko Nugroho.

Seperti kebanyakan perupa kontemporer Dirot adalah perupa yang sadar industri. Tema-tema lukisannya yang berkutat pada kehidupan pesisir memerlihatkan kejelian Dirot membidik pasar seni rupa dunia yang selalu menerima lukisan-lukisan bertema eksotisme kawasan-kawasan tertentu di Indonesia. Kesadaran akan nilai komersil sebuah karya seni ini nyaris tak dimiliki oleh perupa-perupa terdahulu.

Dirot menjadi mata rantai penting dalam sejarah seni lukis Indonesia yang sempat terputus sejak era Orde Baru. Mata rantai yang terputus itu berakibat pada adanya kegamangan di balik lukisan-lukisan kontemporer yang terkesan sekadar memuja bentuk tapi mengabaikan isi. Akibatnya seni lukis kontemporer seakan berjalan tanpa memiliki rujukan pada khasanah seni lukis tanah air. Lukisan-lukisan Dirot menjadi penyambung bagi mata rantai yang terputus tersebut.

Tapi, pada saat bersamaan, posisi Dirot menyebabkan ia secara batiniah selalu didera kebimbangan. Dirot tampak sedang menempuh suatu pengalaman keterasingan diri sebagai individu yang menanggung tanggung jawab personal dan selalu dituntut untuk dapat memupuk keberanian memilih di antara sekian banyak kemungkinan yang tersedia bagi cara dan visi melukisnya.

Kelabilan identitas membawa Dirot pada pilihan mencari akar-akar tradisi. Walhasil, menjadi terpahami mengapa pada sebagian besar lukisan-lukisannya, Dirot selalu bertutur tentang alam pesisir khas pantai utara khususnya daerah Indramayu Jawa Barat  kampung halamannya.  Dirot adalah perupa yang masih terus mencari akar-akar sejarah sosial dan kulturalnya, suatu episod serupa yang pernah dialami Sudjojono sebelum ia sampai pada tahap paripurna dalam berkarya cipta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline