_______________
Penulis: Dr.Afni Zulkifli*
_______________
Judul sangar ditulis besar, 'PETAKA HUTAN HARAPAN'. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya digambarkan sedang memegang kapak, lalu membentang karpet merah di tengah hamparan hutan. Satwa Gajah dan Harimau divisualisasikan terpaksa menyingkir penuh ketakutan.
Di media non konvensional, narasi disusun dengan kalimat menghentak-hentak. Di media konvensional, narasi disusun dengan laporan jenis investigasi news, kasta tertinggi dalam penulisan karya jurnalistik. Tulisannya disusun dengan sangat baik.
Sehingga saat dibaca berulang-ulang, baik dari sisi manapun, mau dimulai dari halaman manapun, tokoh antagonis di semua media itu cuma satu nama: Siti Nurbaya!
Visual dan narasi itu terus menyebar. Di-like, di-coment, dan di-share. Ribuan kali. Masuk ke berbagai platform media sosial, hingga ke grup-grup WA. Menjadi bahan cerita di berbagai ruang diskusi para praktisi, akademisi, dan pemerhati.
Pemahaman orang awam hanya sampai sebatas narasi-narasi itu saja. Tidak ada narasi yang menjelaskan, bahwa izin yang dikeluarkan Siti Nurbaya atas nama Menteri LHK, bukanlah izin yang bisa dibubuhkan tanda tangannya begitu saja. Seketika. Apalagi asal selera.
Karena izin di Hutan Harapan, sudah melalui proses yang sangat panjang kali lebar. Bertahun-tahun lamanya.
Dimulai dari pengajuan PT.Marga Bara Jaya ke Menteri LHK untuk mendapatkan izin membangun jalur logistik (angkutan batubara) di dalam areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Restorasi Ekosistem (IUPPHK-RE) PT.REKI di Provinsi Jambi.
Dalam konteks ini, Menteri LHK selaku wakil pemerintah, memiliki kewajiban berdiri tegak pada semua kepentingan anak bangsa, sebagaimana amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.