Lihat ke Halaman Asli

Nadj Baroroh

Positif Thinking

Memanfaatkan HHBK di Hutan Mangrove sebagai Pewarna Alam, Langkah Solutif untuk Perlindungan Karbon Biru

Diperbarui: 29 Agustus 2021   20:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Indonesia mempunyai kawasan hutan mangrove yang luas dan berpotensi memanfaatkan karbon biru sebagai upaya mitigasi perubahan iklim. 

Pada Rencana Strategis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Tahun 2020 – 2024, penanganan perubahan iklim dengan program pembangunan rendah karbon dan peningkatan ketahanan bencana dan iklim menjadi Prioritas Nasional RPJMN 2020 – 2024. 

Demikian pula program Pengelolaan Hutan Berkelanjutan menjadi Prioritas Nasional dengan indikator kegiatan yaitu Rehabilitasi Hutan Mangrove untuk upaya pemulihan kerusakan lingkungan. Hutan mangrove juga mempunyai kemampuan menyimpan karbon lebih banyak dibanding hutan tropis.

Dalam acara Diskusi Pojok Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang diselenggarakan pada tanggal 18 Agustus 2021 dengan tema “Karbon Biru untuk Kita Semua”, Bapak Sarwono Kusumaatmadja selaku Ketua Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim menyampaikan bahwa mangrove, lamun dan terumbu karang merupakan ekosistem karbon biru yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber jasa lingkungan penyerapan karbon dan berpotensi dalam pengurangan emisi perubahan iklim. Untuk itu perlu upaya perlindungan karbon biru. 

Pada acara tersebut, Ibu Myra Widiono selaku Ketua Perkumpulan Warna Alam Indonesia (WARLAMI) menceritakan upaya pelestarian dengan pemanfaatan mangrove sebagai pewarnaan alam yang diaplikasikan pada kain tenun dan batik.

Pewarna alam dari mangrove menjadi perhatian yang sangat menarik, karena itu perlu dikenal lebih mendalam.

Sampai saat ini masih banyak kain batik khususnya yang menggunakan pewarna sintetis karena dianggap lebih praktis dan memberikan warna kain yang cerah dan beraneka.  

Pewarna sintetis yang sering digunakan antara lain jenis remazol, indigosol, naphtol dan frusen, Namun penggunaan pewarna sintetis justru menghasilkan limbah pencemaran air karena bersifat toksik dan persisten yang sulit dimetabolisme mikroba dalam perairan maupun tanah.

Mangrove merupakan bahan yang dapat dijadikan sebagai pewarna alami karena mangrove mengandung tanin. Tanin adalah suatu senyawa polifenol yang berasal dari tumbuhan. Tanin pada mangrove sebagian besar terdiri dari 4 flavonoid monomer yaitu catechin, epicatechin, epigallocatechin dan epicatechin gallate (Paryanto dkk, 2015). 

Pewarna alam terdiri dari zat warna yang berasal dari bahan alam yang mengandung bahan organik yang mudah terurai. Tumbuhan mangrove juga merupakan Hasil Hutan Bukan Kayu yang dimanfaatkan bagian akar, batang kayu, daun, biji, buah atau bunga untuk diekstraksi menjadi pewarna alam. 

Pewarna alam dari hutan mangrove menghasilkan antara lain warna coklat muda, coklat tua, oranye, hitam dan merah muda Martuti dkk (2018). Pewarna alam ini sudah mulai digunakan untuk kain batik, tenun, ecoprint, shibori dan lain-lain.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline