Lihat ke Halaman Asli

Apakah Merokok Meningkatkan Kerentanan terhadap Covid-19?

Diperbarui: 3 Maret 2021   13:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Masalah kesehatan terkait merokok di Indonesia masih sulit diatasi dengan laporan menunjukkan Indonesia berada diurutan ketiga di dunia setelah China dan India. Menurut survei nasional yang diadakan dari tahun 2013 sampai 2018, jumlah perokok di Indonesia tergolong tinggi dan jumlah perokok pemula juga meningkat lebih dari 2 kali lipat dalam satu dekade terakhir ini. Angka yang meningkat terus menerus pada perokok pemula juga sangat mengkhawatirkan karena tidak hanya menciptakan perokok seumur hidup namun masih banyak efek samping lain dari merokok yang membahayakan seperti kecanduan tembakau dan nikotin, Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK), kerentenan terhadap penyakit infeksi paru seperti infeksi tuberkulosis paru (TB Paru), pneumonia, bronkiektasis dan yang paling disoroti saat ini adalah lebih mudahnya seorang perokok terinfeksi COVID-19 di era pandemi.

Seperti yang kita ketahui, Coronavirus Disease (COVID-19) adalah suatu penyakit infeksi akut pada saluran pernapasan yang pertama sekali muncul di Wuhan City, China pada Desember 2019 dan sudah menyebar ke 190 negara serta menginfeksi lebih dari 68juta penduduk di dunia. COVID-19 umumnya memiliki gejala ringan dan bahkan ada yang tanpa gejala. Namun, ada beberapa pasien juga mengalami gejala sedang dan berat hingga mengancam nyawa. Pada COVID-19 dengan gejala sedang dan berat umumnya mengenai orang dengan kondisi khusus seperti perokok, orang dengan tekanan darah tinggi (Hipertensi), penyakit kencing manis (Diabetes Mellitus), gagal ginjal kronis (Chronic Kidney Disease), penyakit jantung, Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) dan pasien dengan kehamilan.

Orang yang sudah aktif merokok selama puluhan tahun biasanya akan berkembang menjadi suatu penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) yang ditandai dengan batuk lama, berdahak, sesak saat aktivitas maupun beristirahat. Selain itu, sesak menahun pada pasien PPOK dapat diselingi dengan episode yang memberat atau yang disebut dengan istilah eksaserbasi. Faktor yang sering menyebabkan eksaserbasi adalah infeksi paru atau paparan asap (seperti asap rokok). Derajat beratnya PPOK dapat ditentukan oleh frekuensi eksaserbasi dan beratnya gejala saat muncul.

Pasien PPOK dengan COVID-19 6 kali lebih berisiko untuk terjadi perburukan  dibandingkan dengan pasien yang bukan PPOK. Di samping itu, pasien PPOK yang mengalami COVID-19 juga 17 kali lebih berisiko untuk dirawat di ruangan Intensive Care Unit (ICU).

Hal yang menyebabkan perokok lebih rentan terinfeksi COVID-19 adalah adanya peningkatan dari reseptor yang disebut dengan Angiotensin Converting Enzyme (ACE) -2 yang meningkat di paru dan saluran napas. ACE-2 memiliki peran dalam peningkatan tekanan darah dan inflamasi, mengakibatkan kerusakan di jaringan. Selain itu, pada perokok sering ditemukan adanya kerusakan pada lapisan pembuluh darah atau yang kita kenal dengan istilah endotel. Kerusakan endotel ini sangat berhubungan dengan terjadinya Hipertensi, Diabetes Mellitus, gagal ginjal dan penyakit paru lainnya. Penyakit tersebut juga sering menjadi faktor pemberat pada pasien yang terinfeksi COVID-19. Demikian juga faktor kebiasaan pada saat merokok yang dapat meningkatkan jumlah kontak antara tangan dan mulut sehingga risiko penularan COVID-19 lebih tinggi terutama pada perokok dengan higienitas tangan yang kurang baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline