Semakin dekat dengan awal Tahun 2025, siap menghadapi kenaikan PPN 12 persen. Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) menyebut, meski sudah diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), namun implementasinya akan mengikuti pemerintahan baru.
12 Persen adalah angka yang cukup besar dibanding Jepang, Korea Selatan dan Australia, yaitu 10 persen. Pastinya kondisi ini memberatkan masyarakata terutama kelas menengah. Selain kenaikan PPN, kelompok kelas menengah masih di bebani dengan kewajiban aneka ragam potongan gaji yang memberatkan.
Sebenarnya kemerosotan perekonomian suatu negara sudah ada sejak tahun 2007 di perburuk dengan masa pandemi COVID-19. dikutip dari sebuah artikel mdpi.com, berjudul Finances and National Economy: Frugal Economy as a Forced Approach of the COVID Pandemic, untuk identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi status keuangan penduduk dan analisis komparatif aset dan kewajiban keuangan rumah tangga di Rumania dan Uni Eropa.
Hasil dari makalah ini diperoleh dari evolusi indikator-indikator utama mengenai karakterisasi situasi keuangan penduduk pada tahun 2007--2019, khususnya bagi penduduk aktif, dan secara langsung dipengaruhi oleh kualitas pekerjaan yang memenuhi syarat dan pekerja, serta sebagai keberlangsungan perekonomian nasional.
Kontribusi pribadi tim peneliti terdiri dari korelasi matematis yang diberikan oleh keuangan penduduk terhadap perekonomian suatu negara, yang sangat relevan, terutama karena, bergantung pada tingkat positif atau negatifnya, ketidakseimbangan keuangan dan sosial yang sistemik tercipta dengan dampak langsung terhadap keberlangsungan perekonomian nasional.
Bagaimana kelompok kelas menengah dapat memperbaiki kesejahteraan hidup, jika dari hasil kerjanya saja sudah banyak kewajiban yang harus disetorkan ke pemerintah sebelum setor ke keluarga? Kelompok kelas menengah pastinya semakin sulit untuk menabung, boro-boro punya uang dingin, makan sehari-hari dan bayar anak sekolah saja sudah bagus bagi mereka.
Daya beli masyarakatpun jelas nampak penurunan dalam 8 bulan terakhir baik online maupun offline. Jam 7 malam saja di kompleks kami bak jam 11 malam, semua pintu rumah sudah tertutup, tak nampak kendaraan lewat, apalagi ojek online yang dulunya sering wira wiri mengantarkan makanan ke rumah-rumah.
Di jalan pun sama, para pedagang makanan di pinggir jalan yang biasanya ramai pembeli sepulang kerja, banyak yang tutup, sepertiga masih ada yang berjualan namun sepi tak ada pembeli.
Bukan hanya bertopang dagu, mereka juga sudah memutarotak berusaha memenuhi kebutuhan. Bahan -bahan pangan di pasar yang katanya mengalami penurunan, nyatanya harganya tetap saja normal, pedagangpun semakin jarang dan barang dagangannya pun semakin sedikit.
Pelapak sayur di pasar yang membuka dua lapak, kini lapaknya nampak sangat kosong, beberapa sayurpun layu dan beberapa pedagang berkali-kali berucap "pasar sepi". Kemana mereka akan mengadu? Bagaimana mereka bertahan hidup? Mampukah mereka merubah kebijakan dengan kebijaksanaan pemimpin?