Suatu hari dua bulan yang lalu, saya menerima seorang pasien laki-laki muda di ruang praktek saya di salah satu rumah sakit swasta. Sebutlah namanya F, usianya baru awal 20-an tahun.
F datang ditemani ayahnya dengan keluhan saat ini takut dengan segala benda tajam. Yang dimaksud benda tajam bukan hanya pisau, silet dan sejenisnya melainkan juga benda-benda yang sebetulnya tidak tajam namun ujungnya cukup runcing seperti pensil, pulpen, sumpit, dan lain sebagainya.
Jangankan untuk memegang, sekedar membayangkan benda-benda ini saja sudah cukup untuk membangkitkan ketakutan luar biasa dalam dirinya.
Dampak yang dirasakan mulai dari berdebar-debar, keringat dingin, pusing, sampai rasa ingin pingsan. Singkatnya F mengalami serangan panik setiap berhubungan dengan benda tajam.
Dalam pemeriksaan F mengatakan bahwa keluhan ini muncul sekitar 1 minggu sebelumnya setelah matanya tercolok ujung jari keponakannya saat bermain bersama.
Untuk matanya sendiri sudah dilakukan penanganan ke dokter mata dan kondisi penglihatannya telah pulih. Setelah melakukan pemeriksaan psikiatri, pada akhirnya saya menegaskan diagnosa fobia pada F dalam hal ini fobia benda tajam.
Fobia itu apa?
Fobia di dalam bidang psikiatri termasuk dalam cluster gangguan cemas. Tepatnya ditandai dengan munculnya rasa cemas luar biasa pada saat menghadapi suatu benda, tempat, atau situasi yang sebetulnya secara rasional kita tahu tidak menimbulkan keberbahayaan tertentu.
Jadi intinya kecemasan yang timbul dalam fobia ini sifatnya tidak rasional dan orang yang mengalami fobia menyadari hal ini namun merasa tidak berdaya menghadapinya.
Secara sederhana, dasar psikologis fobia umumnya adalah pemindahan kecemasan dari sebuah situasi awal ke situasi lain di mana sumber kecemasan awalnya tidak disadari oleh orang yang mengalami fobia. Mengetahui dasar kecemasan awal ini sebetulnya sesuatu yang sangat penting dalam penanganan fobia.
Membahas kasus F
Pada awal melakukan pemeriksaan pada F, saya mencoba mencari dasarnya, hal apa yang memicu fobia pada diri F. Namun menurut F, hidupnya baik-baik saja.
Tidak ada satupun hal yang ia khawatirkan atau mengganggu pikirannya. Ayahnya yang saat itu menemani dalam pemeriksaan juga menyatakan hal yang sama bahwa hidup F baik-baik saja sehingga keluarga sangat bingung dengan munculnya kondisi fobia ini.