Lihat ke Halaman Asli

Bencana Akibat Ikhlas

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Ikhlas. Satu kata yang sangat sering kita dengar dan juga hampir selalu kita ucapkan. Tapi, apakah memang semudah itu untuk bisa ikhlas? Secara teoritis Rasulullah Muhammad mengajarkan tentang ikhlas: “Apabila tangan kirimu tidak tahu apa yang dikerjakan tangan kananmu demikian pula sebaliknya”. AjaranBeliau yang lain: “Apabila perbuatan, hati dan perkataanmu sama”. Tentunya ajaran tersebut sudah dipraktekkan dengan baik oleh sang Maha Guru, karena memang beliau memiliki akhlaq yang sudah tidak tertandingi oleh siapapun. Namun bagaimanakah dengan kita? Saya kebetulan saat ini sedang meneliti tentang hal itu. Benih tidak ikhlas: lawan ikhlas tentunya “tidak ikhlas”. Benih itu sebenarnya dapat kita lihat secara kasat mata melalui perilaku. Orang yang menyimpan benih tidak ikhlas biasanya ditandakan dengan adanya tendensi (walaupun sekecil apapun) pada dirinya. Bila kita memberi seseorang suatu kebaikan dan kemudian dalam hati kita terbersit keinginan untuk dibalas dengan kebaikan yang lebih banyak atau setidaknya sama, maka saat itulah benih tidak ikhlas telah tertanam kepada diri kita. Selama saya di luar negeri pernah ditolong oleh seorang kenalan yang lebih dulu datang ke negara tersebut. Dia memberi saya informasi tentang kondisi, cuaca yang ekstrim yang harus saya alami, meminjami selimut listrik untuk menghangatkan tubuh, pemanas ruangan, penanak nasi, sepeda, dan bahkan menginap di apartemennya (walaupun saya juga disediakan apartemen). Lebih dari itu, seringkali saya makan bersama di apartemennya. Singkatnya kebaikannya saya rasakan berlebihan. Sebenarnya sejak hari ke-dua, dalam hati saya sudah timbul pertanyaan dan firasat (belakangan firasat itu benar terjadi) bahwa kenapa kebaikannya begitu besar kepada saya, dan apa yang dia harapkan dari saya. Pertanyaan dan firasat ini bukan tanpa dasar. Saya mengacu pada ajaran Muhammad SAW: ”Sebaik-baiknya perkara adalah yang sedang-sedang saja”. Artinya secara praktis adalah, apabila kita melakukan sesuatu perbuatan, maka yang terbaik yang kita lakukan adalah sesuatu perbuatan yang sesuai dengan kemampuan kita. Bukan yang melebihi kemampuan kita. Kebaikan yang kita berikan melebihi kemampuan kita akan memunculkan benih tidak ikhlas pada diri kita. Hal tersebut selama ini sudah saya ajarkan dan saya praktekkan kepada keluarga saya. Kebetulan di rumah saya memiliki beberapa anak asuh yang saya biayai kebutuhan pendidikan dan kebutuhan sehari-harinya. Suatu ketika isteri saya mendapatkan uang dari proyek penelitian saya di kampus. Seperti biasanya, dia merencanakan beberapa kegiatan termasuk memberikan hadiah kepada anak asuh. Dia berencana memberikan hadiah berupa uang saku tambahan kepada mereka. Saya lihat angka rupiah yang tercatat di buku rencana belanja. Wow... sangat besar!. Dengan dasar ajaran Muhammad SAW, saya sampaikan kepada dia hal berikut: lebih baik nominal yang akan diberikan dikurangi dan diberikan dalam wujud yang lain suatu saat apabila mendadak dibutuhkan, karena dengan cara demikian maka akan menjadikan hati kita tidak berat untuk memberi. Selain itu, berarti pula kita mendidik anak-anak untuk tidak mudah menghamburkan uang dan pandai mengelolanya untuk kebutuhan yang penting.

Kembali ke cerita tentang tema saya tadi. Hari ini adalah hari ke 15 kebersamaan saya dengannya di negeri orang. Firasat dan pertanyaan saya mulai terbukti. Beberapa hal sudah saya rasakan berbeda dengan sebelumnya. Sejak hari ke 10 yang lalu, dia sudah lebih banyak menyuruh saya untuk mengerjakan pekerjaan di dapur (karena kami hanya berdua). Mulai mencuci piring, masak, dsb. Itu bukan merupakan masalah bagi saya, karena kebetulan saya suka dan terbiasa akan hal itu. Justeru yang saya sesalkan adalah “kenapa kebaikan yang sudah ditanam sebegitu indahnya dirusak dengan mudahnya”. Saya ingat lagi akan ajaran Rasulullah: “Jangan engkau seperti wanita tua yang memintal kain tenun dan setelah kain itu indah, kemudian engkau uraikan lagi”.

Akhirnya, saya banyak belajar dari pengalaman tersebut. Selain itu, saya juga yakin akan hipotesis saya selama ini. Kesimpulan dari pengalaman tersebut adalah bahwa: 1) ikhlas sangat sulit dilakukan, namun apabila kita dapat melakukannya, maka imbalan yang kita dapatkan akan sangat luar biasa besarnya, 2) agar dapat menyempurnakan keikhlasan kita, maka berilah kebaikan kepada orang lain sesuai dengan kemampuan kita. Kalau perlu, kurangilah sedikit daripadanya. Mengenai teman saya tadi, prediksi saya adalah bahwa bantuan yang diberikannya kepada siapapun sudah tidak dinilai oleh Allah SWT, dan justeru dia akan menghadapi cobaan yang begitu berat. Wallahu A’lam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline