Refleksi perjalanan saya bulan lalu ke kota Casablanca, Maroko, membuat saya semakin yakin Indonesia yang seperti apa yang saya inginkan bagi generasi berikutnya dan calon presiden yang mana yang bisa saya percaya untuk membuat visi ini menjadi kenyataan.
Hari itu sekitar jam 3 sore saya dan seorang teman berjalan kaki dari pelabuhan Casablanca (Port de Casablanca) ke mesjid Hassan II yang terletak di pinggir lautan Atlantik. Menurut travel guides, masjid itu salah satu tempat yang harus dilihat di Casablanca. Tidak seperti masjid-masjid di Istanbul yang tua-tua, Hassan II ini baru selesai dibangun pada tahun 1993 oleh Raja Hassan II sebagai mausoleum untuk ayahnya, Raja Mohammed V, yang meninggal sekitar 30 tahun sebelumnya.
Matahari saat itu sangat panas dan terik. Kami mencari-cari tukang es krim di sekitar mesjid, tetapi tidak ada. Yang terlihat hanya anak-anak muda lokal yang sedang berekreasi di atas tembok penahan ombak di samping masjid. Air lautan Atlantik di bulan Mei masih lumayan dingin dan cuma beberapa anak kecil yang nekat saja yang bermain di air. Para pemudanya kebanyakan ngobrol-ngobrol atau berolah raga dengan bertelanjang dada di sekitar tembok.
Setelah mengamati suasana sekitar selama 15 menit (sambil terus ngotot mencari tukang es krim), akhirnya ada seorang anak muda yang datang menegur kami dalam bahasa Inggris. Senang mendengarnya, karena kami tidak bisa berbahasa Arab, Darija maupun Perancis. Namanya Mourad, mahasiswa teknik elektro berusia 22 tahun. Mourad belum pernah ke luar negeri dan dia ingin latihan bahasa Inggris sambil mendengar cerita tentang dunia di luar Maroko. Akhirnya kami jadi ngobrol ngalor-ngidul di bawah panasnya matahari. Tukang es krim masih juga belum kelihatan.
Yang berbekas di ingatan adalah ketika saya tanya pendapatnya tentang rajanya. Pupil mata Mourad langsung membesar dan dia bertanya balik dengan agak resah, “Kenapa sih tanya-tanya tentang Raja Maroko? Memang pengen saya ditangkap ya?” Saya jelaskan bahwa itu menarik bagi saya karena Indonesia tidak punya sistem monarki. Mourad tetap menolak untuk berkomentar. Ini cukup mengherankan, karena menurut yang saya baca, Raja Mohammed VI yang memimpin Maroko sejak 1999 memiliki pendekatan yang berbeda dari ayahnya, Hassan II, yang memerintah dengan tangan besi. Mohammed VI disebutkan sebagai seorang modernisator yang pada tahun 2011 melakukan reformasi konstitusi dan menjadikan Maroko negara monarki konstitusional. Apakah perubahan ini hanya di atas kertas saja dan secara de facto pemerintahannya masih seperti police state? Atau proses evolusi Maroko menuju demokrasi memang baru saja dimulai?
Ketika saya pancing kenapa orang-orang Maroko kok mau menyembah-nyembah rajanya, reaksi Mourad cukup keras. “Kami tidak menyembah raja kami. Yang patut disembah cuma Allah!” Saat itu azan Ashar terdengar, jadi kami break dulu dan berjalan ke mesjid. Senang juga akhirnya bisa berteduh dari panasnya matahari!
Setelah shalat, Mourad mengajak kami jalan-jalan di kompleks masjid yang didisain oleh orang Perancis itu. Bangunannya memang sangat megah. Minaretnya saja setinggi 210 m–katanya yang tertinggi di dunia. Tidak heran kalau pembangunan mesjid itu sampai menelan 585 juta euro (sekitar 9.5 triliun rupiah), sangat mahal buat Maroko yang tahun lalu pendapatan negaranya hanya $26 milyar dan GDPnya $104 milyar. Tetapi tentunya tidak ada yang berani menolak white elephant project sang raja ini. Walaupun Mourad bilang rakyat Maroko tidak menyembah rajanya, terlihat sekali bagaimana takutnya orang-orang pada kerajaan (pemerintahan). Mereka selalu waswas dan berusaha menghidari pembicaraan tentang politik karena dinding di sekitarnya bertelinga.
Menurut statistik CIA, tahun lalu Maroko telah mencapai per kapita GDP (PPP-based) yang sedikit lebih tinggi dari Indonesia ($5.500 vs. $5.200). Tetapi kami tidak melihat bukti indikator kemakmuran tersebut di kota Casablanca yang merupakan kota terbesar di Maroko. Kotanya memang terlihat aman dan orang-orang, bahkan anak-anak, bebas berjalan kemana-mana sampai larut malam. Tetapi kualitas infrastruktur dan fasilitas umum lainnya masih jauh di bawah kota-kota besar di Indonesia, apalagi Jakarta. Sepanjang jalur tram yang masih baru dan mengkilat dari Casa Voyageur ke terminal Sidi Moumen, misalnya, yang kami lihat hanyalah tanah kering dan tandus, bangunan-bangunan yang tidak terawat dan para petani yang membawa hasil kebunnya ke pasar memakai gerobak yang ditarik keledai. Di Sidi Moumen aktivitas ekonominya terpusat di souk (pasar), dan itupun hanya berupa toko-toko kelontong saja.
Angka resmi tingkat pengangguran Maroko adalah 9,5%, tetapi angka yang sebenarnya jauh lebih tinggi, terutama di kalangan kaum mudanya. Yang lebih mengagetkan adalah ketika mendengar dari Mourad bahwa gaji fresh graduate di sana sangat rendah, hanya 300 dirham (Rp.450 ribu). Gaji pegawai negeri bisa dua kali lipatnya, tapi hanya segelintir orang yang bisa menjadi pegawai negeri, terutama yang punya koneksi. Saya pikir kalau sebatang es krim saja harganya 15 dirham (ya, akhirnya ketemu juga penjual es krim di dekat kota tua Medina!) dan ongkos tram 6 dirham, bagaimana mungkin anak-anak mudanya bisa menabung?
Harga mobil juga jauh lebih mahal dari Indonesia karena pasarnya masih belum efisien dan mendapat pinjaman bank sangat sulit. Mobil-mobil di jalan-jalan kebanyakan sudah tua dan kotor, walaupun ada juga beberapa mobil mewah di pusat kota di sekitar stasiun Nations-Unies–kami duga itu milik orang-orang elit dan super kaya. Taksi ada, tapi tanpa meteran dan mobilnya tua (umumnya sedan Mercedes-Benz model awal tahun 90-an). Karena mahalnya harga bensin (11 Dirham atau Rp.16 ribu/liter), taksi biasanya dishare, jadi baru jalan setelah penuh. Seperti angkot. Di warung-warung kopi kami lihat hanya ada satu dua orang yang memakai smartphone. “Internet terlalu mahal buat kami,” kata Mourad. Mungkin memang sengaja dibuat mahal untuk membatasi akses ke informasi, kata saya dalam hati.
Saya mencoba membayangkan bagaimana rasanya jadi Mourad dan hidup di sebuah negara di mana gap antara miskin-kayanya sangat lebar, daya beli masyarakatnya rendah, akses ke modal/dana sangat terbatas, fasilitas umum kurang, dan yang lebih penting lagi, tidak punya kebebasan untuk mengakses informasi, berekspresi dan mengkritik pemerintahnya. Pasti banyak orang yang frustrasi dan ingin minggat dari sana.
Lalu tiba-tiba saya teringat, lho, itu kan sama persis dengan situasi Indonesia di jaman Orde Baru?!
Produk Orba seperti saya (baca: kelahiran sebelum 1980) masih ingat sekali betapa berbedanya iklim demokrasi di bawah Orba dan era reformasi. Sekarang rakyat Indonesia bisa dengan bebas berpendapat tentang pemerintah dan wakil rakyatnya, badan-badan independen seperti KPK bisa menjalankan fungsi pengawasannya, dan media bisa menulis tentang korupsi tanpa takut dibredel atau wartawannya diancam. Di jaman Orba, walaupun di atas permukaan kelihatannya rapi dan terkontrol, di bawahnya banyak kegelisahan mencari sesuatu yang hilang: kebebasan untuk berekspresi dan berpendapat, kehausan akan pemerintahan yang bersih dan bekerja untuk rakyatnya. Mourad dan Casablancanya adalah refleksi diri sendiri versi jaman mahasiswa.
Anak-anak muda yang lahir setelah tahun 1990 banyak yang tidak sadar atau menghargai betapa beruntungnya mereka bisa tumbuh dalam suasana demokrasi. Tahun ini sebagian besar dari generasi pasca-Orba ini akan ikut pemilu untuk pertama kalinya. Banyak yang pasti merasa bingung oleh derasnya arus informasi dari kedua kubu capres. Bagi saya, tidak ada kebingungan sama sekali. Karena saya bisa membandingkan Indonesia hari ini dengan Indonesia versi Orde Baru, dan bisa membayangkan akan seperti apa Indonesia dalam sepuluh tahun ke depan kalau proses demokrasi ini terus berlanjut. Setelah mempelajari dengan seksama karakter, track record dan visi capres dari kedua kubu, saya melihat hanya satu capres yang saya percaya bisa membawa demokrasi kita ke tingkat kematangan berikutnya dan menjadi inspirasi bagi pemerintahan yang bersih dan transparan.
Jokowi.
Lawannya, Prabowo, bukan hanya bagian kelompok elit jaman Orba, tapi juga memiliki masa lalu yang sangat tidak sejalan dengan konsep demokrasi. Menurut sebuah interview, dia pengagum W. Bush, Blair, dan Putin, yang semuanya suka perang (warmongers). Prabowo juga memuji Musharraf atas keberaniannya untuk menjadi pemimpin fasis diktator. Video kampanye yang dibuat pendukungnya bagi saya sangat mengerikan dan penuh simbolisme kekerasan dan fasisme. Hal ini membuat saya khawatir pemerintahan di bawah Prabowo akan memutar balik jam sejarah demokrasi kita dan membuat Orba, bukan Indonesia, bangkit kembali.
Buat para pemilih muda yang beruntung tidak mengalami jaman Orba, coba minta om, tante dan orangtua anda untuk bercerita tentang kehidupan di Indonesia di masa itu. Juga ikuti berita tentang revolusi di negara-negara Arab yang sedang berlangsung (Arab Spring) sambil membayangkan bagaimana rasanya hidup di bawah pemerintahan yang otokratik. Pikirkan baik-baik Indonesia yang seperti apa yang anda inginkan dalam 10 tahun ke depan, dan calon presiden yang mana yang bisa anda percayai untuk merealisasikannya.
Bagi saya, Casablanca cukup sebagai nama salah satu jalan di Jakarta dan medium untuk refleksi diri, tapi jangan sampai menjadi tujuan perjalanan demokrasi kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H