Pemilihan kepala daerah (PILKADA) serentak telah usai digelar, 171 Provinsi, 115 kabupaten, dan 39 kota telah mempunyai pemimpin baru (kecuali pemenang kotak kosong). Bukan hanya dari kalangan yang memang berkecimpung dalam dunia politik, akan tetapi banyak juga dari kalangan lain yang maju mencalonkan diri dalam perebutan kursi mewah kepala daerah. Mulai dari: para pengusaha, praktisi pendidikan, dan banyak figure lain yang sebenarnya tidak mempunyai background politik seperti para artis yang mendadak nyalon.
Perebutan tahta pemimpin daerah yang seharusnya bertujuan untuk menyejahterakan rakyat dengan berbagai kebijakannya, menjadi ajang berebut kekuasaan semata tanpa menyebutkan apa tujuan mereka sebenarnya. Dengan gaji yang saya rasa jauh lebih kecil dibanding penghasilan mereka sebelumnya, tetapi rela mengeluarkan modal untuk berkampanye mengenalkan diri ke publik dengan berbagai cara. Penulis sebagai kaum muda mulai curiga dengan fakta seperti di atas. Apa sebenarnya tujuan mereka?
Para calon pemimpin daerah yang mengikuti PILKADA serentak beberapa waktu lalu tak lepas dari dukungan partai politik atau parpol pengusung (kecuali independen). Salah satu fungsi dari Parpol adalah sebagai sarana komunikasi politik guna menyalurkan aspirasi masyarakat supaya sampai pada pemerintah.
Sebaliknya parpol juga berfungsi menyebarluaskan keputusan dan kebijakan pemerintah, atau singkatnya fungsi parpol adalah jembatan antara pemerintah dan rakyat. Secara teoritis, parpol sangat membantu proses pemerintahan.
Parpol menjadi penyeimbangan dalam sistem pemerintahan. Akan tetapi agaknya belum terlaksana dengan baik teori tersebut. Parpol oposisi sebagai parpol kontra pemerintah bukan menjadi pemberi saran yang baik demi kepentingan bersama, melainkan lebih sebagai pengkritik tanpa memberi solusi. Parpol yang pro pemerintah atau parpol pengusung pemenang pemilu juga habis-habisan membela. Hal ini yang membuat masyarakat khususnya anak muda menjadi terbawa dengan segala pernyataan dan info dari kedua belah pihak. Lebih buruk lagi adalah terjadinya konflik horizontal atau konflik antar kelompok pendukung parpol yang mungkin juga terjadi.
Jika pemuda memposisikan diri di parpol yang kontra ataupun pro pemerintah, tentu harus jelas alasannya. Jangan sampai kita memposisikan diri di posisi yang salah, mengingat banyak figure yang bermanuver. Pemuda hendaknya menjadi agen pencari informasi dan tidak terlena dengan rayuan dari satu pihak saja. Pemuda mempunyai andil yang besar juga dalam pemerintah, maka harus kritis terhadap semua kebijakannya.
Jika tidak sepakat dengan kebijakan pemerintah, kita harusnya mencari titik masalahnya dan memberikan solusi melalui organisasi-organisasi pemuda atau lain sebagainya. Kebijakan yang kurang bisa diterima bukan menjadikan kita memilih jalan untuk golput. Menjadi pemuda yang cerdas, memberikan kritik sosial dengan cara anak muda melalui media sosial misalnya.
Pemuda juga harusnya bisa menjadi pemberi informasi untuk kalangan lain, bisa dimulai dari lingkungan sekitar, dan semakin meluas. Hal seperti ini sudah merupakan bentuk kepedulian pemuda terhadap dunia politik di Indonesia.
Suara kita yang banyak ini, kita berikan untuk pemimpin yang benar dibutuhkan rakyat. Suara kita yang banyak ini, bukan untuk mereka yang membutuhkan posisi pemimpin untuk kepentingan golongan. Mari pemuda Indonesia, tunjukan kepedulian kita. Kita bukan boneka yang bisa digerakan kemana saja. Kita tak akan termakan politik uang, bagi-bagi kuasa ataupun isu SARA yang dapat memecah belah bangsa. Kita kaum muda yang akan terus belajar memperbaiki diri untuk kemajuan bangsa dengan benar memilih dan akhirnya menjadi layak dipilih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H