Lihat ke Halaman Asli

Mangatas SM Manalu

TERVERIFIKASI

KLB Difteri Indonesia Tertinggi di Dunia, Ini Usulan Penanganannya untuk Kemenkes RI

Diperbarui: 19 Desember 2017   22:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Sumber gambar 1: http://health.liputan6.com)

Penulis sebenarnya agak enggan untuk menulis tentang difteri karena sudah banyak disampaikan diberbagai media cetak, elektronik dan media sosial. Selain itu, penulis tadinya menunggu sejawat dokter anak dan THT untuk lebih dulu menulis. Tetapi karena adanya KLB (Kejadian Luar Biasa) difteri 2017 yang sudah melanda 28 provinsi di Indonesia (TERTINGGI DI DUNIA, menurut Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI)), serta adanya orang dewasa yang terjangkit difteri, bahkan ada penderita usia 45 tahun yang meninggal, padahal sudah mendapat vaksinasi dasar DPT secara lengkap, membuat penulis bertanya-tanya, serta memberi usulan kepada Kementrian Kesehatan RI, yaitu:

MENGAPA BANYAK ORANG DEWASA YANG SUDAH DIIMUNISASI DIFTERI MASIH TERJANGKIT PENYAKIT INI?

Sebelum mencoba menjawab pertanyaan itu, mari kita bahas dulu tentang difteri.

Difteri adalah infeksi akut (terjadi secara cepat) oleh bakteri Corynebacterium diphteriae, yang menyebabkan kelainan serius pada selaput lendir (mukosa) hidung dan tenggorokan kita.

Ciri khas penyakit ini adalah terbentuknya lapisan tebal abu-abu (pseudomembrane) yang menutupi bagian belakang tenggorokan Anda, di daerah tonsil (amandel) dan nasofaring (daerah antara tenggorokan dan rongga hidung belakang). Lapisan tebal ini dapat menutup jalan napas Anda, menyebabkan hambatan aliran udara pernapasan, sehingga terjadi sesak nafas bahkan kematian akibat kekurangan oksigen.

Masa inkubasi (masa antara masuknya kuman penyakit sampai timbul gejala) ialah 2-5 hari (kisaran: 1-10 hari). Difteri dapat melibatkan hampir semua selaput lendir saluran nafas atas, TIDAK MENGENAI SALURAN NAFAS BAWAH (PARU-PARU).

Ada tiga biotipe Corynebacterium diphteriae, yakni mitis, intermedius, dan gravis. Setiap biotipe berbeda tingkat keparahan penyakitnya, biotipe gravis adalah yang paling merusak. Kuman ini memiliki efek lokal merusak jaringan dan membentuk pseudomembran serta efek jauh karena menghasilkan eksotoksin, sejenis racun yang menyebar jauh dari tempat perkembangbiakannya di saluran napas, sampai ke jantung, ginjal dan saraf. Biotipe yang tak menghasilkan eksotoksin, yaitu mitis, menyebabkan difteri kulit.

Tanda dan gejala difteri

  • Pada tahap awal, penyakit ini sering seperti flu biasa. Lalu timbul nyeri tenggorokan ringan yang semakin parah. Terjadi sakit kepala, demam panas-dingin, menggigil.
  • Pembengkakan kelenjar di leher depan dan samping (seperti "leher banteng")
  • Batuk keras dan "kungkung" (seperti "menggonggong") yang lama
  • Sakit tenggorokan, suara serak
  • Kesulitan bernapas, nafas tidak bisa penuh, atau bernapas cepat
  • Cairan ingus berlendir kental bahkan sampai bernanah dan berdarah
  • Banyak meneteskan air liur
  • Perasaan lesu dan tidak bertenaga.
  • Suara yang tidak jelas atau hilang
  • Pandangan kabur
  • Kulit ujung jari tangan kebiruan (karena kekurangan oksigen)
  • Tanda syok: kulit pucat, dingin, berkeringat, detak jantung cepat, jika sakit berlanjut. 
  • Difteri kulit menyebabkan bisul dan kemerahan yang pada awalnya nyeri dan menjadi koreng yang sulit sembuh. Koreng ini ditutupi oleh lapisan (membran) cokelat abu-abu.
  • Lapisan putih keabu-abuan yang tebal pada amandel dan nasofarings, kadang-kadang pada pangkal lidah adalah ciri khas penyakit ini

Sumber gambar 2: http://www.jabarpos.id)

Pembawa penyakit tanpa gejala (carrier) difteri
Pada difteri bisa terdapat PEMBAWA PENYAKIT TANPA GEJALA, yang menularkan hingga 4-6 minggu setelah masuknya kuman ke tubuhnya (meskipun ia tidak diberi terapi). Pembawa penyakit tanpa gejala inilah yang membahayakan, karena bisa menularkan, tanpa dicurigai orang.

Penularan difteri

  1. Percikan lendir dari saluran nafas, saat orang yang terinfeksi bersin atau batuk lalu terhirup oleh orang di dekatnya. Terutama pada kerumunan orang atau di daerah padat penduduk.
  2. Barang pribadi yang terkontaminasi. Dari benda-benda yang dipakai orang terinfeksi, dari alat makan yang tercemar atau melakukan kontak dengan barang-barang lainnya.
  3. Barang rumah tangga terkontaminasi Meski jarang terjadi, difteri dapat menyebar pada barang-barang rumah tangga yang dipakai bersama, seperti gayung atau mainan.
  4. Menyentuh luka akibat infeksi difteri.
  5. Dari orang yang menjadi carrier difteri, yang tidak jelas gejalanya.

Faktor risiko difteri (Faktor yang memudahkan terjadinya Difteri)

  1. Orang yang tidak mendapat imunisasi DPT (Difteri, Pertusis, Tetanus) atau imunisasinya tidak lengkap (tidak mendapat suntikan penguat / Booster)
  2. Orang yang hidup dalam lingkungan padat, kumuh, dan tidak sehat
  3. Berpergian ke daerah endemik difteri atau negara-negara tanpa program vaksinasi
  4. Orang dengan gangguan sistem kekebalan tubuh, seperti Diabetes, orang dengan kemoterapi kanker, mendapat terapi dengan obat kortikosteroid, penderita HIV-AIDS
  5. Anak di bawah usia 5 tahun dan orang dewasa di atas 50 tahun
  6. Tenaga-tenaga kesehatan dan orang-orang di sekitar penderita difteri
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline