Makanan bergizi dan makanan berasa enak adalah dua hal yang sangat berbeda. Belum tentu, makanan berkadar gizi tertentu berasa enak di lidah pemakannya.
Sebaliknya, makanan berasa enak bisa saja bergizi dan juga tak bergizi. Tentu saja, umumnya kita sepakat jika makanan yang kita konsumsi seyogianya bergizi dan enak di lidah.
Pemberian makanan bergizi gratis kepada para siswa di sekolah menjadi salah satu program andalan pemerintahan saat ini di bawah kendali Presiden Prabowo Subianto.
Menariknya, program itu bukan saja buah bibir sewaktu masa-masa kampanye politik jelang pemilihan presiden tahun 2024 lalu, tetapi benar-benar terealisasi dalam konteks nyata.
Presiden Prabowo benar-benar merealisasikan program tersebut dengan dimulai pada bulan Januari tahun 2025 ini. Jadinya, suara-suara sinis yang sempat mengkritik kampanye tentang program makanan bergizi gratis tersebut sedikitnya terbungkam.
Ternyata, kampanye tersebut bukan saja buah bibir yang bertujuan untuk menaikkan elektabilitas, tetapi benar-benar terealisasi sebagai program nyata.
Pada beberapa pekan terakhir ini, kita disuguhkan pelbagai berita mengenai program pemberian makanan bergizi gratis yang terjadi di beberapa daerah di tanah air. Walaupun program pemberian makan bergizi gratis tersebut belum mengenai semua sekolah di tanah air, paling tidak ada pelbagai evaluasi sekaligus harapan untuk program yang sudah dibuat di beberapa sekolah di tanah air.
Salah satu hal yang barangkali perlu dievaluasi mengenai kualitas dari makanan yang disajikan. Jangan sampai makanan yang disajikan tak memenuhi standar gizi. Juga, jangan sampai para siswa hanya menilai dan memilih bahwa makanan yang disajikan itu (harus) berasa enak di lidah atau harus sesuai selera lidah, tetapi pada faktanya kualitas gizinya tak begitu memadai.
Menjadi masalah ketika makanan yang disajikan hanya untuk menyenangkan lidah siswa semata, tetapi nilai gizinya cukup minim. Makanya, tak bisa dibenarkan ketika penyediaan makanan di sekolah bertujuan untuk menyenangkan dan menjawabi kebutuhan rasa, tetapi mengabaikan kualitas.
Perlu menjadi bahan evaluasi ketika makanan yang diberikan hanya untuk memberikan kesan kemewahan dari sisi kuantitatif semata, tetapi makanan tersebut berupa olahan instan tanpa mengikuti standar gizi tertentu. Makanan berjumlah banyak dengan ukuran menu yang besar tak masalah, asalkan apa yang disajikan itu mengandung gizi bagi pemakannya.