Pertanyaan-pertanyaan bernuansa sensitif kadang menjadi bagian dari relasi sosial, baik itu dalam relasi pertemanan maupun di lingkup keluarga.
Sebut saja salah satunya adalah pertanyaan "kapan nikah?" untuk mereka yang sudah masuk kepala tiga tetapi belum memberikan tanda-tanda membangun relasi ke arah pernikahan.
Padahal, kalau dilihat ke dalam, pertanyaan itu tak perlu diajukan apabila menyelami lebih dalam tentang keputusan untuk memilih hidup sendiri atau belum menikah.
Tak sedikit orang yang tidak mau terikat dalam relasi lewat pernikahan karena pelbagai alasan, salah satunya adalah pilihan pribadi.
Pastinya, pilihan pribadi itu mempunyai latar belakang tertentu. Alih-alih mau tahu kapan dia menikah, lebih baik menghargai keputusan seseorang yang memang tak mau menikah dan memilih hidup sendiri. Toh, orang itu sendiri yang akan menjalani hidupnya.
Namun, begitulah realitas masyarakat kita yang kadang peduli atau dalam bahasa gaulnya kepo dengan kehidupan pribadi orang lain. Ini terjadi karena konteks sosial dan budaya, di mana menikah seperti menjadi "keharusan", dan tak menikah terlihat sebagai realitas yang sulit untuk diterima.
Sama halnya dengan pertanyaan, kapan punya anak? Pertanyaan seperti ini muncul karena faktor sosial dan budaya masyarakat kita.
Ketika perempuan dan laki-laki menikah, mereka membentuk sebuah keluarga. Konsekuensi lanjutnya adalah mereka seharusnya mempunyai anak guna mengafirmasi dari pembentukan kedua insan itu sebagai sebuah keluarga.
Karenanya, ketika keduanya belum memiliki anak, pelbagai persepsi muncul. Salah satu persepsipnya adalah ada yang kurang dalam relasi tersebut. Relasi itu belum lengkap.
Persepsi itu bermuara pada pertanyaan, "kapan punya anak?" setiap kali bertemu dan berkumpul. Pertanyaan itu, barangkali di satu sisi menjadi harapan untuk kedua belah pihak agar dikarunia anak.