Musim politik sudah mulai kentara. Baliho-baliho calon legislatif mulai dari level daerah kabupaten hingga pusat terpajang di tempat-tempat strategis pada pelbagai wilayah di Indonesia.
Diskusi politik makin panas, terlebih khusus tingkat elit yang mau menggolkan capres dan cawapres mendatang. Pembicaraan tentang pemilu sudah menghiasi obrolan masyarakat.
Contohnya kemarin sewaktu di rumah saya ada seorang kerabat yang datang bertamu.
Selain berbicara tentang masalah keluarga, kami juga berbicara tentang caleg yang maju pada pemilu mendatang. Pembicaraan kami pun sampai pada situasi dilematis dalam menentukan pilihan. Antara keluarga ataukah tetangga.
Pernah ada kejadian di keluarga kami, di mana ada tetangga yang datang dan memohon dukungan. Namun, di lain pihak ada juga anggota keluarga yang juga ikut kontestasi pemilu yang sama, tetapi beda partai dengan tetangga itu.
Situasi itu cukup membingungkan karena tidak enak hati apabila tak memilih tetangga dan memilih keluarga, juga sebaliknya.
Situasi seperti ini sudah sering terjadi, yang mana caleg itu muncul dari lingkup keluarga Dan ada pula yang dari tetangga. Mereka menargetkan kursi yang sama. Lantas, bagaimana menghadapi situasi ini?
Sikap politik pun beragam. Ada yang memilih terangga karena mereka orang yang terdekat kalau dibutuhkan. Anggota keluarga kadang datang saat ada kebutuhan tertentu.
Ada yang memilih anggota keluarga lantaran kedekatan emotional. Paling tidak, ada kebanggaan saat anggota keluarganya yang lolos dan tembus caleg.
Ada pula yang memilih jalan tengah. Siapa yang lebih dahulu datang ke rumah, dia itu yang akan dipilih. Apabila tetangga yang lebih dahulu datang daripada keluarga, maka tetangga itu yang akan dipilih.