Kekalahan Manchester United (MU) dari West Ham dan Newcastle United dari Arsenal memperketat persaingan di empat besar Liga Inggris. Persaingan itu bukan saja antara MU dan Newcastle, tetapi juga Liverpool yang sementara berada di tempat kelima.
MU mengalami persoalan ketakstabilan di lima laga terakhir. Dua kali kalah di dua laga terakhir menjadi bukti ketakstabilan tim asuhan Pelatih Erik Ten Hag itu. MU seolah terjebak di jalan lama, seperti yang terjadi di awal musim ini dan musim-musim sebelumnya.
Sistem kerja yang sudah dibangun oleh Ten Hag seperti mengalami kemerosotan secara tiba-tiba. Efektivitas tim melorot tajam.
Dalam laga kontra Wes Ham (8/5/23), Ten Hag tetap mengandalkan formasi 4-2-3-1. Hanya saja, Ten Hag coba melakukan eksperimen dengan memainkan Marcus Rashford sebagai striker tunggal dan di belakang Rashford, Ten Hag memainkan W. Weghorst.
Taktik ini bukanlah eksperimen baru. Musim ini, Weghorst yang didatangkan pada bulan Januari tahun ini beberapa kali dimainkan sebagai penyerang lubang. Tempat itu sebenarnya biasa dimainkan oleh Bruno Fernandes.
Sama halnya dengan Rashford yang biasa dimainkan sebagai penyerang sayap kiri. Kecepatan dan kelincahannya untuk mengecoh bek lawan menjadi poin plus bagi serangan MU.
Namun, MU tak mempunyai pilihan lain di sisi striker yang berada pada level terbaik. Makanya, Ten Hag mendorong Rashford sebagai striker tunggal dan Fernandes sebagai penyerang sayap.
Persoalannya, ketika Rashford tak mempunyai asupan bola yang cukup mumpuni. Tipe Fernandes lebih pada pengatur serangan, pengumpan di belakang striker, dan bukannya penyerang sayap seperti Rashford.
Selain itu, letak persoalan MU juga terjadi di lini belakang. Absenya duo bek andalan L. Martinez dan P. Verane secara bersamaan menghadirkan lubang besar. Ten Hag tak menemukan formula yang tepat untuk menutup lubang yang ditinggalkan oleh kedua bek tersebut.
L. Shaw yang sejatinya adalah bek kiri dioperasikan sebagai bek tengah guna menjadi pendamping V. Lindelof. Cara itu tak menjawabi totak kebutuhan MU.